Naskah Alakirabi Wayuh Kaliyan Boten ini beraksara dan berbahasa Jawa. Naskah ini dimulai dengan penggambaran cerita seorang anak manusia yang pada dasarnya memiliki adat istiadat di lingkungan masyarakatnya. cerita tentang lelaki yang mengikuti perintah Allah dengan cara bekerja dan menafkahi keluarganya dari hasil keringatnya sendiri dan telah mencapai usia dewasa atau sudah waktunya bekerja, maka adatnya ialah mencari pekerjaan yang mapan. Dengan mendapatkan pekerjaan yang baik maka kebahagiaan hidup akan menyertainya. Ia juga akan mampu menafkahi dan menyejahterakan anak dan istrinya. Bahkan lebih jauh lagi sisa pendapatannya dapat ditabung untuk kehidupan di hari tuanya nanti, serta bisa digunakan untuk membantu tetangga atau orang lain yang kurang mampu.
Cerita kemudian dilanjutkan tentang lelaki kaya yang memiliki istri tiga dan masing-masing istrinya sering tidak rukun. Seorang suami yang berpoligami dan memiliki banyak istri akan berpotensi mendatangkan keburukan akhlak bagi suami seperti seringkali berbohong demi menyanjung istri yang satu dengan lainnya. Selain itu waktu yang diberikan pasti tidak akan bisa adil kepada masing-masing istrinya.
Penggambaran karakter kesengsaraan seorang laki-laki jika poligami diungkapkan dalam kalimat berikut, (AWKB, 7):
Kajawi adat ingkang kasêbut punika, ingkang dados tuking sangsara agêng dhatêng băngsa kula Jawi: wawênangipun jalêr rabi kalih, tiga, sakawan. Ingkang sapisan: tiyang wayuh punika botên têntrêm ing gêsangipun, rabinipun sabên dintên tansah abratayuda, rêbat mênang, sagêda amboyong lakinipun, lulusa dados gadhahanipun piyambak, sampun ngantos nolih dhatêng marunipun.
Terjemahan:
Kecuali adat istiadat yang menjadi sumber penderitaan besar bagi masyarakat Jawa saya: yaitu kebolehan lelaki menikah dua, tiga, empat. Yang pertama: orang wayuh (menikahi perempuan lebih dari satu/poligami) ini tidak tenteram hidupnya, kehidupan pernikahannya setiap hari selalu ribut, berjuang untuk menang, supaya memiliki suaminya, menjadi miliknya sendiri, jangan sampai suaminya memberikan perhatian ke istri yang lain.
Cerita dilanjutkan dengan perempuan yang dimadu. Seorang istri yang menjadi madu atau istri muda (istri kedua, ketiga, atau keempat) pikirannya terpecah-pecah atau tidak fokus untuk merawat dirinya sendiri sehingga sampai tidak makan, tidak tidur, hatinya hancur, badannya kurus kerontang. Anak-anaknya juga akan tidak terurus karena hatinya seringkali merana. Bahkan disampaikan juga; ".,kathah ingkang pêjah ngênês, trêkadhang ewah budinipun" artinya "..banyak yang mati merana, terkadang sampai gila."
Seorang perempuan yang menjadi madu di masa lalu memiliki berbagai tantangan yang kompleks dan seringkali bersifat pribadi. Dalam hal status sosial, istri kedua seringkali dianggap sebagai pihak yang “lebih rendah” dibandingkan dengan istri pertama. Mereka tidak jarang juga mengalami diskriminasi dalam hak-hak dan kewajiban. Mereka juga biasanya mendapatkan tekanan sosial dari masyarakat atau lingkungan sekitar. Selain itu, ketergantungan finansial pada suami menjadikan istri kedua kesusahan untuk mandiri dan memiliki pilihan hidup yang lebih bebas. Lebih jauh lagi, akses pendidikan terhadap perempuan sangat terbatas sehingga menjadi istri kedua sulit untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan memperjuangkan hak-haknya.
Seiring berjalannya waktu dan pengaruh modernisasi, pandangan masyarakat Jawa terhadap poligami mengalami perubahan. Semakin banyak orang yang menganggap poligami sebagai bentuk adanya ketidakadilan terhadap perempuan. Selain itu, muncul kesadaran bahwa poligami dapat menimbulkan masalah dalam keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Penolakan poligami tersebut disebabkan beberapa faktor seperti: status kemandirian perempuan dalam hal pendidikan dan karir yang lebih baik, menjadikan perempuan tidak sepenuhnya bergantung kepada laki-laki. Dalam pengaruh agama, terutama agama Islam, menerapkan bahwa poligami hanya boleh dilakukan dalam kondisi tertentu dan dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Lebih jauh dari itu, adanya peningkatan kesadaran nilai-nilai kesetaraan gender, menjadi salah satu wawasan kepada masyarakat bahwa setiap individu, baik itu laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama.
Kesengsaraan laki-laki yang wayuh (poligami) dalam naskah AWKB diceritakan lagi dengan penggambaran;