Dalam segala aspek kehidupan, kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dapat diadaptasi, salah satunya dengan cara memberikan hak yang sama dalam menjalani suatu profesi, seperti profesi dalam industri perfilman. Hingga saat ini banyak masyarakat yang menilai bahwa film merupakan suatu pekerjaan maskulin yang hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki saja, mulai dari produser, sutradara, DOP, ataupun editor rata-rata dilakukan oleh laki-laki.
Sedangkan perempuan tidak terlalu banyak terlibat didalamnya. Ini menjadi salah satu alasan mengapa para sineas perempuan menjadi minoritas dalam industri perfilman. Padahal dengan kesempatan yang sama perempuan juga dapat menciptakan mahakarya yang sama baiknya dalam industri perfilman ini..
Pusat Studi Perempuan di Televisi & Film menyatakan bahwa festival utama tahun 2016-2017 rata-rata menyaring 6 film layar lebar yang digarap atau disutradari oleh perempuan, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan karya film yang disutradari oleh laki-laki.
Center for the Study of Women in Television and Film di San Diego State University juga menyatakan bahwa sebuah studi baru yang membahas perihal film dan perempuan yang dirangkum dalam Celluloid Ceiling melaporkan bahwa perempuan hanya berperan sebesar 21% dari semua bagian dalam industri perfilman, mulai dari produser, produse eksekutif, sutradara, penulis naskah, editor, dan sinematografer yang menggarap 100 film teratas pada tahun 2020.
Untuk jumlah sutradara di Indonesia diketahui didominasi oleh laki-laki. Karena dalam industri perfilman perempuan lebih banyak bekerja didepan layar dibandingkan dibalik layar. Padahal para perempuan tidak harus selalu berperan sebagai artis saja tetapi juga dapat berkontribusi dalam bagian lainnya seperti produser, sutradara, penulis skenario, DOP, ataupun editor. Supaya ada perspektif lebih kaya dari sisi kaum perempuan, industri perfilman memang masih sangat memerlukan peran perempuan didalamnya. Dengan begitu industri perfilman akan semakin berwarna dan dapat memberikan perspektif yang berimbang.
Kendati sineas perempuan masih sangat minoritas dalam industri perfilman namun beberapa dari mereka sudah cukup mewarnai industri perfilman. Terbukti sejumlah sutradara perempuan pun dinilai cukup bagus dalam mengeksekusi sebuah karyanya. Mereka adalah Kamila Andini, Nia Dinata, Djenar Maesa Ayu, Gina S Noer, Mouly Surya, Sammaria Simanjuntak, Ucu Agustin, Upi, Lola AmariaLasja Susatyo, dan lainnya. Mereka berhasil memberikan sudut pandang baru dan menyampaikan suara mereka melalui karyanya. Dengan memberikan perspektif baru dari sudut pandang kaum perempuan, perempuan dalam film tidak lagi terjebak stigma dengan karakter lemah yang butuh penyelamat.
Dalam beberapa tahun belakangan ini juga kita mulai dapat melihat peningkatan representasi perempuan di dunia perfilman Indonesia. Beberapa karya film yang disutradarai ataupun diproduseri oleh perempuan, seperti 'My Stupid Boss' (Upi Avianto), 'Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak' (Mouly Surya), 'Dua Garis Biru' (Gina S. Noer), hingga film 'Ada Apa dengan Cinta? 2' (Mira Lesmana). Karya-karya tersebut berhasil mendapatkan feedback yang luar biasa dari masyarakat, hal ini dapat dibuktikan dari jumlah penonton yang sangat banyak sekaligus mendapatkan pengakuan dari dunia perfilman internasional.
Hal tersebut tentu menjadi angin segar bagi mereka yang sudah lama menginginkan partisipasi dan penggambaran yang berkualitas mengenai perempuan di industri perfilman khusunya yang berada dibagian balik layar. Dengan karya-karya tersebut, akhirnya industri film tidak hanya didominasi oleh karya-karya dari sineas pria berbakat tetapi juga karya-karya dari kaum perempuan, walaupun masih menjadi minoritas tetapi mereka kini sudah mulai berani mengambil peran di balik layar dan menciptakan mahakarya-mahakarya luar biasa untuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H