Lihat ke Halaman Asli

Indri Permatasari

TERVERIFIKASI

Landak yang hobi ngglundhung

Akankah Kita Turut Andil Menciptakan "Joker-joker" Baru di Kehidupan Nyata?

Diperbarui: 8 Oktober 2019   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar wmagazine.com

"The worst part of having mental illnes is people expect you to behave as if you don't"

***

Meski sudah banyak yang membahas film ini dengan ulasan-ulasan yang apik, izinkanlah saya untuk tetap menuliskan segenap uneg-uneg yang saya rasakan setelah kelar menonton Joker untuk kedua kalinya.

Tenang saja, karena ini bukan review maka saya berusaha untuk tidak menulis spoiler yang potensial merusak kesenangan bagi njenengan yang mungkin belum menontonnya.

***

Niatan awal saya ngglundhung ke bioskop adalah semata demi menziarahi hobi lawas untuk menonton film-film bernuansa gelap yang akan membuat saya merasa gamang dan tidak nyaman setelah keluar dari sinema. Dan sepertinya gayung bersambut, ternyata hari itu ada Joker yang baru tayang sehari sebalumnya.

Sebenarnya tak banyak yang saya harapkan, meski setelah sedikit mengintip sana-sini banyak yang memberi rating bagus terhadap hasil karya Todd Phillips ini.

Tapi bagaimana ya, semakin lama durasi saya duduk di dalam sinema, semakin saya tercekam dalam bungkam. Sepertinya begitu juga dengan para penonton yang lainnya. Sinema terasa suwung meski kenyataannya hampir semua kursi terisi penuh.

***

Adegan demi adegan saya lewati dalam sunyi yang ganjil. Ibarat menyesap nikmatnya kopi dengan rasa pahit yang cenderung mencandu. Semua scene yang tersaji dalam layar lebar seolah adalah sebuah fakta yang direkonsiliasikan dengan apik menjadi sebuah fiksi. Hingga kadang menjadikan batas antara kenyataan dan imaji menjadi bias.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline