Lihat ke Halaman Asli

Indri Permatasari

TERVERIFIKASI

Landak yang hobi ngglundhung

[LOMBAPK] Cantiknya Toleransi di Asrama Putri

Diperbarui: 25 Januari 2017   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pri

Berbicara tentang toleransi akhir-akhir ini memang sangatlah menarik. Banyak hal yang bisa diangkat kembali untuk mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keutuhan bangsa dan negara dari segala perpecahan yang mungkin saja terjadi akibat banjir hoax, provokasi, sebaran dan ujaran kebencian yang makin hari makin menjadi. Tak ada lagi ruang dan waktu tersisa untuk sekedar mencerna apalagi cross check berita.

Semua hal harus segera disebarkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Benar dan tidak adalah urusan belakangan, yang penting cepat bung dan nona. Ingat ini revolusi!!!! Ho oh..revolusi dengkulmu mlocot itu.

Uhuk..oke baiklah, paragraph awal sudah terlihat agak intelektual dengan gaya bahasa mbulet yang selalu disukai tiap insan penghamba kecerdasan. Karena tulisan ini diniatkan untuk ikut memeriahkan lombanya planet kenthir, maka tak elok rasanya apabila terlalu  lama mengumbar kewarasan. Agar tak makan durasi, maka kita mulai saja dari sekarang..cekitcrot

***

Hening sejenak….

Kemudian hening lebih lama….

Sompret juga nih yang bikin lomba, udah disambi bolak balik ngemil makan kuaci, baca komik, nonton film horror, benerin genteng tetangga sampai ikutan mukulin maling jemuran tetap saja ide tak ada yang mau hinggap di kepala. Lagian bikin tema tulisan lomba juga kenthir bener sih, masak iya kita disuruh nulis toleransi dengan rasa kenthir, mesti bagaimana coba.

Tapi baiklah daripada menang-gung malu, mau tak mau harus saya teruskan cerita ini sampai tuntas tak bersisa dan diakhiri dengan memenangkan hadiah utama. Beneran koq, sekarang udah masuk intinya, kalau ndak percaya ya sudah, dilanjut aja bacanya oom tante.

***

Kisah yang sudah layak masuk museum ini terjadi waktu saya masih nyantrik di sebuah kota yang mendapat julukan sebagai kota pelajar. Sebagai manusia perantauan yang bukan anak mafia kaya raya, apalagi koruptor kelas tongkol, tentu saja saya mesti rela jadi cah kos. Demi ngirit ongkos dan sangu yang jumlahnya tak seberapa, saya juga harus cerdik dalam memilih tempat kos dengan harga terjangkau. maka pilihan akhirnya jatuh pada sebuah rumah tua yang jika sekilas dilihat dari depan lebih mirip  gudang suwung yang tak berpenguni (kemudian salim sungkem sama mantan ibu kos).

Tapi falsafah jawa kuno, don’t judge the books by it’s cover benar-benar diejawantahkan dalam kos saya ini. Penampilannya yang nampak terlalu bersahaja dari luar, ternyata menyimpan mutiara manikam yang tak ternilai harganya di dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline