Lihat ke Halaman Asli

Indri Permatasari

TERVERIFIKASI

Landak yang hobi ngglundhung

Masjid Besar yang Kehilangan Penggemar

Diperbarui: 17 Juni 2016   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri (bukan masjid besar ini yang dimaksud lho)

Maafkan jika judulnya agak kurang ajar, tapi semua cuma demi biar rimanya pas saja. Maklum, saya itu paling kesulitan kalau diminta mbikin judul yang apik. Jadi sudah ya, yang mbaca mending manut saja daripada tak minta neraktir nonton pilem Finding Dori lho.

Sebenarnya sudah agak lama saya pingin curhat tentang ini, tapi berhubung sok sibuk ndak jelas, akhirnya ide tinggal ide yang ngendon dalam kepala tanpa pernah jadi prasasti. Nah, mumpung momentumnya lagi tepat, pas Ramadhan, pas orang lagi relijiyes-relijiyesnya, jadi ya sudahlah saya tulis saja uneg-uneg ini daripada jadi bisul yang mengganggu.

Udah ah prolognya kepanjangan, kebiasaan ndak fokus. Saya mulai aja ceritanya ya.

***

Dulu, tepatnya dulu sekali karena saya lupa kapan persisnya, pokoknya pas saya masih kecil, masjid besar -yang bisa dipakai untuk sholat Jumat- di sekitar rumah hanya ada dua. Satu di dekat alun-alun dan satunya lagi di dekat perkampungan tempat saya tinggal.

Dengan penduduk yang ndak terlalu banyak, dua masjid besar itu selalu ramai, baik sholat lima waktu atau kegiatan lain seperti pengajian di hari-hari tertentu. Apalagi kalau pas Ramadhan seperti ini, jamaah sholat Tarawih hampir memenuhi bagian dalam masjid. Dari simbah-simbah, bapak-ibu, pakdhe-budhe, para musafir sampai adik-adik, baik yang anteng kaya kitiran maupun yang pecicilan main petasan.

Jangan ditanya kalau pas momen hari raya. Telat sebentar saja, bisa-bisa ndak kebagian tempat di serambi dan harus rela nggelar Koran di parkiran. Lebih asyik lagi kalau pas sholat Iedul Adha, bagi yang telat bisa dapat pengalaman baru, karena di pinggir masjid, para hewan qurban yang parkir menunggu antrean menuju keabadian siap menjadi teman setia selama sholat berlangsung.

***

Waktu pun berlalu, kota semakin berkembang. Begitu pun dengan manusianya. Kodrat berkembang biak yang jadi salah satu ciri makhluk hidup sepertinya dihayati betul oleh para penduduk. Terbukti tak sampai satu dasawarsa, kota kecil yang dulunya sepi mamring menjadi ramai. Imbasnya tentu saja perkampungan mulai bertumbuh.

Dengan penduduk muslim yang terus bertambah, masjid besar yang jumlahnya tidak banyak dirasa kurang bisa memfasilitasi. Akibatnya di beberapa perkampungan mulai didirikan mushola-mushola. Awalnya, tempat ibadah yang sebagian besar didirikan dengan dana swadaya itu memiliki bangunan yang tidak terlalu luas, yang penting bisa menampung jamaah untuk sholat wajib sehari-hari. Sedangkan untuk sholat Jumat dan sholat ied tetap dilakukan di masjid-masjid besar.

Namun, kondisi itu pun tak berlangsung lama. Penghuni kampung terus saja naik angkanya, begitu juga tingkat kemakmurannya. Lambat namun pasti, mushola-mushola kecil disulap menjadi lebih luas, besar dan megah. Tak cukup sampai di situ, membeludaknya penduduk pun akhirnya membuat satuan perangkat RT dan RW menjadi berkembang pula. Yang tadinya satu RW ada 2 RT, sekarang angkanya naik sampai 5 RT bahkan lebih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline