Lihat ke Halaman Asli

Indri Permatasari

TERVERIFIKASI

Landak yang hobi ngglundhung

Lebaran Semarak dan Jomblo yang Terserak

Diperbarui: 14 Juli 2015   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="gambar.co"][/caption]

Lebaran tinggal hitungan hari, semua heboh menyambut datangnya hari raya. Berbagai ritus dikerjakan seolah-olah tanpa melakukannya lebaran tak akan bermakna dan hanya menjadi remah-remah rengginang yang ambyar dan tidak berkesan. Namun dari semua ritual-ritual yang bermacam-macam itu tersebutlah satu hal yang hampir pasti tidak akan dilewatkan dengan sengaja kecuali oleh manusia dalam keadaan kantong bolong serasa habis digarong. Apalgi kalau bukan mudik, iya mudik, apa, njenengan belum pernah mudik? Ndak punya kampung halaman? Lha njenengan lahir di halaman berapa to sebenarnya? Plakkk

 

Yasudah daripada saya dianggap tidak adil karena melupakan kaum-kaum yang tidak pernah merasakan mudik, maka saya akan sedikit berbaik hati mengganti kosakata mudik dengan kumpul keluarga, karena hakikat tertinggi dari ritual mudik juga adalah berkumpul dengan sanak saudara yang biasanya lama tidak bersua dan lebaran adalah momen paling tepat untuk itu atau istilah kerennya wektu kanggo nglumpukke balung pisah, bahwa tidak hanya umat muslim yang ikut macet-macetan sampai blokekan karena kendaraan parkir di jalan tol sepanjang siang. Maka mudik lantas menjadi sebuah tradisi budaya yang dirayakan bersama dengan kegembiraan yang sejati, jadi toleransi bagaimana lagi yang hendak kita dustakan dari sebuah perjalanan bernama mudik.

 

Mudik dilakoni semua kalangan dari mbak-mbak  kinclong, kinyis-kinyis ,wangi yang naik pesawat kelas bisnis sampai dengan simbah-simbah berjarit lusuh sandalan jepit ,nyangking kardus dan akhirnya ndeprok di lantai terminal karena bus kelas ekonomi yang ditunggu tunggu bannya njeblug dan sekarang masih diganti ban serepnya di bengkel. Ah saya malah jadi hilang fokus mau nulis apa to sakjane, fiuh , tarik napas satu setengah jam.

 

Terkait lebaran yang selalu identik dengan acara kumpul dengan keluarga besar menimbulkan reaksi bermacam-macam di  timeline saya. Kebanyakan menyambutnya dengan riang dan sukacita, ada yang upload foto kue-kue yang dibuat sendiri, ada yang bahagia dengan baju barunya, ada yang pasang status bersih-bersih rumah, ada yang bingung memilih antara opor ayam atau opor angsa, ada yang sudah lega karena kendaraan sudah selesai diservis di bengkel langganan, namun banyak yang tiba-tiba galau, mules, insomnia dan mendadak pingin nyungsep dari acara silatuurahim yang seperti berubah bentuk menjadi acara pembantaian massal, siapakah mereka yang sungguh teraniaya itu, ah siapa lagi kalau bukan kaum paling marjinal dan nestapa di belahan bumi nusantara, ya merekalah kaum jomblo yang terpinggirkan dan hak-haknya dirampas sampai habis tak bersisa oleh kaum non jomblo.

 

Bagaimana tidak, di momen bahagia yang seharusnya mereka nikmati dengan hati gembira, para jomblo justru menjadi tegang tak kepalang mempersiapkan jurus-jurus berkelit andalan, counter attack untuk menangkis jab, hook maupun uppercut yang bertubi tubi yang intinya  hanya satu, yaitu pertanyaan kapan kawin. Sungguh kejam memang disaat yang lain makan opor burung unta dengan nikmatnya , para jomblo harus berjibaku dengan siasat dan strategi yang sudah mereka persiapkan dengan matang namun kerap kali kandas dengan sangat mengenaskan.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline