[caption id="attachment_318241" align="aligncenter" width="480" caption="adamsith24.wordpress.com"][/caption]
Judul film ini memang provokatif, tapi percayalah cerita didalamnya
bagus dan sangat menarik.
Film besutan sutradara Jason Reitman tahun 2005 mengisahkan tentang kehidupan Nick Naylor (Aaroon Eckhart) wakil direktur Akademi Kajian Tembakau yang juga seorang pelobi ulung. Cerita dibuka dengan sebuah adegan talkshow Joan Lunden yang mengulas tentang bahaya merokok pada remaja.
acara yang semestinya bisa membuat industry rokok tersudut malah dibuat sebaliknya oleh Nick Naylor yang jago berargumentasi. Alih-alih masyarakat membenci rokok, malah Nick berhasil meningkatkan bargaining position perusahaan rokok dengan kampanye mendukung remaja untuk tidak merokok.
Walaupun begitu masyarakat yang sadar bahaya merokok semakin meningkat, maka mau tak mau para pebisnis rokok harus memutar otak agar bisnisnya tetap lestari. Dan lagi-lagi Nick mengutarakan ide yang cemerlang yaitu menggunakan film sebagai media promosi budaya merokok, dan tak ayal sang bos BR (J.K Simmons) sangat menyetujuinya.
***
Nick dan kedua sahabatnya Polly Bailey (Maria Bello) juru bicara alkohol Moderation Councill serta Bobby Jay (David Koechner) dari Safety juru bicara senjata api memiliki kebiasaan unik yaitu rutin bertemu untuk sharing dan memberi masukan dalam menyelesaikan permasalahan yang sering muncul di bisnis yang mereka wakili. Ketiganya secara bangga menyebut diri mereka pedagang kematian. Bahkan secara satir saling mengolok produk mereka yang mana yang paling banyak mengantarkan nyawa manusia ke alam baka.
Dalam satu acara talk show lain, tiba-tiba Nick mendapatkan ancaman pembunuhan , hingga akhirnya Nick berhasil diculik dam hampir saja tewas, namun Nick beruntung karena dia berhasil selamat dari peristiwa itu karena kebiasaannya merokok, tapi pasca kejadian penculikan itu Nick tidak boleh merokok lagi untuk selamanya. Kenapa begitu?hmm walau sudah film lawas tapi saya nggak mau buat spoiler deh daripada mbikin yang belum nonton jadi hilang penasarannya.
Kejadian berlanjut , konflik semakin meruncing antara para raksasa bisnis rokok, pemerintah yang anti dan pro rokok , media massa yang mencoba mendapat keuntungan dari perseteruan dan tentunya Nick Naylor. Bagaimana akhir dari semuanya, monggo silahkan dipirsani sendiri.
***
Sebagai film bergenre drama comedy , Thank You For Smoking mampu membawa pesan-pesan yang mengena bagi penontonnya. Alur cerita dan konflik yang terbangun pun sangat menarik untuk disimak. Bagaimana kehidupan Nick yang disegani rekan-rekan bisnisnya dibandingkan dengan sosoknya sebagai ayah seorang anak, disisi lain ketanggguhan dan kepandaiannya berargumen ternyata dengan sangat mudah ditaklukkan oleh rayuan seorang wanita.
Namun satu yang pasti film ini sangat apik dalam mengemas kampanye anti merokok. Selama durasi 92 menit tidak ada satupun adegan orang merokok. Film ini malah memberi kita gambaran keburukan yang akan terjadi jika kita tetap merokok selain itu juga diperlihatkan tentang apa sebenarnya yang dilakukan oleh para taipan tembakau maupun politisi untuk mempertahankan bisnis beromset puluhan bahkan ratusan trilyun ini. Kalau boleh dibilang dukunglah orang-orang yang ingin kau hancurkan berlaku disini.
***
Akhirnya merokok atau tidak itu pilihan, saya percaya masing-masing sudah tahu apa risiko yang mereka ambil jika menghisap asap bercampur nikotin itu. Upaya pemerintah dengan menampilkan gambar-gambar mengerikan dan peringatan keras Merokok Membunuhmu di sepertinya tidak efektif untuk menurunkan angka penjualan produk, alih-alih malah dijadikan koleksi karena gambarnya rupa-rupa. merokok itu layaknya sebuah kebiasaan yang akan bisa berhenti jika sang perokoknya sendiri menginginkannya. Bahwasanya industri rokok ini tidak sesederhana yang kita lihat, karena sudah melibatkan berbagai aspek dari ekonomi, sosial budaya bahkan politik sekalipun.
Masih yakin dengan pernyataan bahwa tanpa cukai rokok negara kita akan bangkrut karena sumbangsihnya sangat besar, besar mana sih cukai yang dihasilkan produk rokok dengan anggaran yang mesti dikeluarkan negara untuk biaya kesehatan para penderita penyakit akibat bahaya rokok? atau masih percaya bahwa dengan ditutupnya pabrik rokok maka berapa ratus ribu tenaga kerja yang kehilangan mata pencahariannya? Apa benar sampai saat ini tidak ada mesin pengganti buruh linting? Benarkah kita masih bisa jumawa karena ekspor rokok kita sangat besar, tidakkah justru nilai impornya yang lebih besar? Hmm..entahlah saya hanya bertanya dan tidak berkompeten untuk menjawab, salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H