Dunia Formosa, terlihat indah sebatas sosial media. Tidak di kehidupan nyata, tidak di depan mata. Tak semua dari kami hobi mengumbar kesedihan dan airmata. Tak sedikit dari kami yang mengulum dalam-dalam sedih dan luka. Glamour dan foya hanya kibasan penat yang tersisa.
Di ujung-ujung persinggahan di saat libur itulah kami hempasan bulir-bulir lara yang kami bawa dari rumah luka. Ya, rumah luka. Yang di dalamnya ada kami yang datang untuk meninggalkan sanak keluarga. Yang di dalamnya ada airmata kami yang diperas dengan harta. Yang di dalamnya ada harga diri kami yang dibeli dengan banyak aturan mereka.
Aku berjalan menyusuri komplek perumahan dimana aku tinggal untuk merawat orangtua. Setiap pagi sekitar pukul sembilan pagi kubawa kakek jalan kaki sekaligus berjemur di luar rumah.
Daerahku masih dekat dengan Taichung Kota, Wuri District tepatnya. Pertama kali mendengar kata "district" imajinasiku menjalar pada kokohnya gedung-gedung yang besar dan tinggi menjulang, pada ramainya jalan raya dengan panorama bus-bus besar dan kendaraan beraneka ragam.
Tempat-tempat perbelanjaan yang tak pernah sepi. Serta pasar-pasar swalayan yang banyak ditemui di setiap perempatan jalan. Maklum, tiga tahun bekerja di Taiwan, baru sekarang aku tinggal di perkotaan.
Sebelumnya, aku tinggal di atas gunung yang jauh dari keramaian. Pindah dari atas gunung, aku kembali bekerja menjaga nenek di daerah perkebunan selama lebih dari dua tahun. Dan sekarang, barulah nasib melemparku di tengah kota besar. Tuhan memang adil.
"Mbak, baru datang, ya?" Seseorang menegurku.
Aku menoleh dan menyunggingkan senyum tipis padanya. "Iya, Mbak."
"Datang kapan?"
"Baru beberapa hari."
"Oo...."