Oleh; Iin Indriyani
"Turbin yang gagah." Aku menatap lekat kipas raksasa yang tinggi menjulang. Paling tinggi diantara turbin lainnya. Berdecak kagum. Begitu memesona.
"Lumrah. Pemandangan seperti ini jarang kita temukan di Indonesia." Dia membalas amat singkat. Laki-laki satu ini memang berbeda. Dia tidak menyukai apa yang aku sukai. Dia tidak mau melakukan, apa yang ingin aku lakukan. Bahkan untuk sekedar membuatku senang. Dia selalu menjadi dirinya sendiri. Pendiam, tapi berpendirian. Kesediaannya menemaniku sore ini hanya karena sebuah keterpaksaan yang dibungkus alasan "tidak enakan". Dia memang tak bicara, tapi aku tahu. Sangat tahu.
"Bagaimana penilaianmu tentang tempat ini?"
"Biasa saja."
"Kau serius?"
"Ya. Apanya yang istimewa? Mending tinggal di asrama, istirahat."
Jawaban itu keluar dari mulutnya begitu saja.
Belum lima menit aku memutuskan untuk diam, dia kembali berdesis. "Tapi aku merasakan kerinduan menatap kapal-kapal nan jauh itu. Kerinduan masa mudaku dulu, sebagai seorang pelayar. Dulu aku anak tunggal yang begitu dimanja orangtuaku. Apapun yang aku minta, mereka selalu penuhi. Termasuk sekolah di jurusan pelayaran yang aku impikan. Tapi karena rasa tak sabarku, aku gagal."
Dia bicara panjang dengan mata lurus ke depan. Menatap kapal-kapal dari kejauhan. Aku dapat melihat ucapan itu meletup kuat dari dasar jiwanya. Bagai anak panah yang melesat dari busurnya. Kedua matanya membuat jarak antara kapal laut dan hatinya yang sekian lama terpisah kembali menyatu.
"Dan sekarang kau ingin melakukan hal yang sama?" Gumamku, mataku masih menatap kapal-kapal itu.