Baru sejak bulan April yang lalu, pembelajaran tatap muka berkapasitas 100% resmi diberlakukan di semua sekolah di Jakarta. Walaupun sekolah tetap diminta menjalankan protokol kesehatan (prokes) ketat.
Sebelumnya banyak orang tua dan wali murid bersikukuh memilih pembelajaran daring. Alasannya anak-anak belum sepenuhnya mendapatkan vaksin.
Memang sih, di sekolah kami pun hanya sebagian yang sudah mendapatkan vaksin pertama dan hanya sedikit yang berhasil memperoleh vaksin lengkap, yaitu dua kali suntik.
Bukan mereka tidak ingin divaksin tapi karena usia anak yang belum mencukupi. Bahkan saya pernah berdebat dengan orang tua saat tidak menerima kalau anaknya belum terdaftar untuk divaksin, meski cuma beda sehari dari tanggal vaksin. Eeh…
Iya, mau gimana lagi? saya tidak berani memanipulasi data. Harus pas enam tahun ketika divaksin.
Ternyata dugaan kami meleset. Mungkin, orang tua sudah jenuh mendampingi anaknya bersekolah di rumah. Atau anaknya sudah tidak betah berlama-lama dengan ayah ibu yang kadar kesabarannya sudah diambang krisis. Ada lagi alasan karena sudah bayar mahal uang sekolah, tapi tidak pernah pakai fasilitas sekolah. Waduh, celaka.
Minggu pertama sekolah tercatat 75% kehadiran jumlah siswa. Melihat keceriaan anak bertemu dengan teman dan guru membuat anak yang masih belajar daring merajuk dan meminta agar ia pun diperbolehkan mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah. Seiring waktu hingga akhirnya mencapai 95% dari total siswa.
Saat dinas pendidikan mengizinkan PTM terbatas dan berlanjut sampai berkapasitas 100%, sekolah kami menerapkan pembelajaran hibrida. Orang tua diberikan pilihan: hadir di sekolah dengan prokes ketat atau belajar daring melalui tatap maya dari layar monitor. Terserah mereka.
Jika dibandingkan antara daring dan luring, kami melihat adanya kehilangan pembelajaran (learning loss) yang menganga.