"Terima kasih," ucap Mia, bocah cantik berusia empat tahun tersenyum manis. Ia menerima bola dengan kedua tangan mungilnya. Sepasang mata bulat bening menatap sang guru yang menemaninya bermain.
Salah satu ilustrasi yang kerap dijumpai di taman kanak-kanak setiap pagi. Gerombolan anak datang dengan wajah ceria. Senyum menghias bibir. Mereka bermain, berceloteh, bersenda gurau dan berlari bersama.
Bila jatuh dan terluka, menangislah mereka tanpa aba-aba. Saat takada teman yang mau diajak bermain. Guru menjadi tempat pengaduan. Pertengkaran dan perselisihan kerap menjadi bagian dalam perebutan mainan. Kata "Maaf" sebagai jembatan persahabatan diucapkan dengan tulus. Mengakui kesalahan dan berempati.
"Kring...kring..! (bunyi bel sepeda) permisi! Aku mau lewat."
Kalimat yang terlontar oleh anak tatkala ada yang menghalangi laju sepeda di halaman bermain.
Kagum, ya!
Secara otomatis ketiga kata sederhana itu diucapkan tanpa beban. Pembiasaan konkret dipraktikkan dalam setiap tindakan siswa-siswi polos mencontoh guru yang menjadi panutannya.
Ungkapan peribahasa "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari" bermakna perilaku guru menjadi contoh dan ditiru oleh anak didiknya menjadi pembuktian. Sebagai orang dewasa, selayaknya kita menjaga sikap dan tutur dalam bertindak.
Apakah implementasi selaras di masyarakat?
Sebagaimana biasanya setiap pagi, saya berusaha menyempatkan diri menyapa para guru. Menanyakan kabar atau sekadar melakukan obrolan santai.