Lihat ke Halaman Asli

Membaca Lika-liku Reklamasi Teluk Jakarta Kini (Bagian 2)

Diperbarui: 18 November 2017   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teluk Jakarta Dahulu. (Sumber: Ladwig et al., 2016)

Mengkaji perihal aspek ekologi mengenai pelaksanaan pembangunan reklamasi teluk Jakarta, bahwa sebenarnya reklamasi membutuhkan kapasitas teknologi tepat guna dan kajian AMDAL yang mendalam untuk dapat menyukseskan tujuan dan mengantisipasi atau memitigasi dampak lingkungan alam dan lingkungan sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan reklamasi. Namun, ketika kedua hal tersebut belum mampu dipenuhi dengan baik, pelaksanaan teknis proyek reklamasi teluk Jakarta sudah terlanjur dilakukan. Menurut Wurjanto (2016), ada beberapa persoalan teknis yang berpotensi untuk muncul akibat pelaksanaan reklamasi yang telah direncanakan tersebut. Beberapa diantaranya adalah: (1) potensi kenaikan muka air di sekitar muara, antara pantai Jakarta saat ini dengan pulau-pulau reklamasi, (2) persoalan sedimentasi dari 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta beberapa diantaranya yaitu sungai Angke, Ciliwung, Dadap, Sunter, Keramat, Bekasi, Cisadane, dan sungai Citarum, serta (3) penurunan kualitas air selama masa konstruksi pulau reklamasi.

Selain itu, adanya reklamasi teluk Jakarta diperkirakan akan meningkatkan perbedaan tekanan udara antara daratan dan lautan. Daratan Jakarta yang semakin luas akan meningkatkan kapasitas penyimpanan panas daratan menjadi semakin tinggi. Kondisi tersebut akan mengakibatkan semakin mempercepat pergeseran awan hujan konvektif ke daratan dan menyebar ke seluruh Jakarta, terutama pada siang hari mengakibatkan meningkatnya curah hujan di Jakarta. Distribusi plankton sebagai sumber makanan ikan juga akan terpengaruh, materi tanah untuk pengurugan juga memiliki potensi untuk merusak ekosistem, apabila tanah yang tidak berasal dari sekitar Teluk Jakarta, dan terakhir masuknya materi dari ekosistem darat, sampah organik, non organik serta lumpur akan sangat mengganggu proses yang terjadi di ekosistem Teluk Jakarta.

Menurut Indratmo (2016), pada saat reklamasi pembuatan pulau di Teluk Jakarta, ada sejumlah tata kelola air yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) secara alami ada 13 sungai yang mengarah ke pantai utara Jakarta yang membuat reklamasi tidak boleh sampai membendung sungai-sungai tersebut secara signifikan; (2) siklus banjir 5 tahunan yang hingga saat ini belum terpecahkan; (3) lahan di DKI Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut tidak boleh semakin meluas; dan (4) sirkulasi arus laut di antara pulau utama dan pulau-pulau reklamasi dan arus laut antar pulau-pulau reklamasi harus terjamin sehingga ekologi tetap terjaga. Aspek ekologi yang dibahas dibagian sebelumnya semestinya bisa menjadi bahan pertimbangan dalam melanjutkan pelaksanaan pembangunan reklamasi teluk Jakarta. Tidak hanya itu, aspek ekologi pun harus diprioritaskan seimbang dengan aspek ekonomi yang telah menjadi prioritas utama pembangunan reklamasi teluk Jakarta.

Pembahasan mengenai reklamasi teluk Jakarta tidak berhenti pada aspek ekologi, namun berlanjut pada aspek sosial. Reklamasi memberikan 2 bentuk kerugian sosial bagi masyarakat nelayan yaitu penggusuran masyarakat yang dulunya hidup dalam satu komunitas nelayan teluk Jakarta dan kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Nelayan di teluk Jakarta termasuk nelayan tradisional yang telah puluhan tahun melaut sebagai bagian dari identitas budayanya.

Lebih lanjut, nelayan sebagai bagian dari masyarakat pesisir memiliki sifat komunitas (folk society)dengan tatanan sosial antara lain: homogen, memiliki nilai solidaritas kelompok yang tinggi, dan memiliki perilaku yang konvensional. Kedua kondisi sosial budaya ini: karakter dan tatanan sosial, merasakan dampak besar saat terjadi penggusuran yang lebih bersifat budaya, bukan sekedar spasial. Relasi jaringan sosial nelayan yang telah terbentuk lama akan terganggu dengan adanya penggusuran.

Setelah digusur, tentunya nelayan butuh tempat tinggal baru. Maka pemerintah kota DKI Jakarta mengadakan program relokasi. Program relokasi salah satunya direncanakan di kepulauan Seribu. Relokasi komunitas nelayan ke lingkungan baru memerlukan pemahaman yang tepat agar komunitas tersebut dapat diterima di lingkungan baru (jika sudah terlebih dahulu ada komunitas lain di lingkungan tersebut) dan agar komunitas baru dapat terus menjalankan penghidupannya.

Mereka perlu disediakan tempat baru untuk melaut, dan nelayan harus membangun jaringan sosial baru untuk memasarkan ikan tangkapannya. Relokasi harus didukung dengan kajian sosial mendalam yang memperhatikan tatanan sosial masyarakat petani, didukung dengan pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan pada mereka, agar pelaksanaan relokasi dapat tepat guna. Masyarakat nelayan dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dengan baik, karena relokasi tidak sekedar memindahkan manusia tapi memindahkan sistem sosial mereka yang sudah mapan ke tempat baru.

Telah banyak studi, ditemukan bahwa nelayan tradisional identik dengan kemiskinan. Dalam kasus ini, semakin sulitnya nelayan teluk Jakarta dalam mencari ikan berarti mengurangi pendapatan nelayan, yang berarti taraf kehidupan masyarakat nelayan pun akan menurun. Kondisi ini membuat masyarakat nelayan semakin termarjinalisasi yang semakin memperlebar gap/kesenjangan sosial-ekonomi. Kelanjutan reklamasi teluk Jakarta harus memperhatikan sebaik mungkin mengenai aspek sosial-budaya dan sosial-ekonomi dari komunitas masyarakat nelayan teluk Jakarta yang menerima dampak terbesar dari kegiatan tersebut.

Pembahasan terakhir mengenai aspek ekonomi. Jika ditinjau dari aspek ekonomi menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Tahun 2012, diketahui bahwa pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta ini direncanakan akan dibuat tanggul pesisir dan Giant Sea Wall yang berfungsi melindungi pesisir DKI Jakarta dan menyediakan waduk air baku dengan kapasitas 1.000.000.000 m3. Air olahan akan bergabung dengan air muara dari 13 sungai di Jakarta, menjadi cadangan air baku Jakarta. Di bagian Barat Giant Sea Wall ada kawasan 1500 hektar sebagai kawasan pusat jasa keuangan, perdagangan, pariwisata berskala regional, nasional, dan internasional. Dilengkapi dengan pelabuhan bertaraf internasional. Sementara di bagian Timur Giant Sea Wall akan dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus Ali Sadikin seluas 1000 hektar (pusat logistik nasional dan regional) termasuk fasilitas pelabuhan laut dalam.

Kini reklamasi teluk Jakarta sudah berjalan dan akan tetap dilaksanakan hingga selesai sesuai peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berlaku. Namun, penulis berharap pembangunan reklamasi teluk Jakarta mampu menopang tiga askpek ekologi, sosial, dan ekonomi secara berkemampanan. Artinya reklamasi menjadi poros tengah yang mampu mengimbangi irisan ekologi, sosial, dan ekonomi yang nilainya sama penting bagi kelangsungan hidup masyarakat dan makhluk hidup lainnya. Dikarenakan saat ini masih terlihat ada ketimpangan tiga aspek tersebut di atas. Bahkan reklamasi teluk Jakarta diharapkan mampu membuktikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, bukan nantinya menjadi perusak citra Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.504 pulau namun masih ingin menambah 17 pulau baru. Lebih besar daripada itu, reklamasi teluk Jakarta diharapkan mampu memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia terkhusus masyarakat nelayan pesisir pantai utara Jakarta secara sosial-ekonomi dan keberlanjutan ekosistem laut Jawa secara ekologi.

Pembahasan ini adalah lanjutan tulisan sebelumnya di Bagian 1.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline