Lihat ke Halaman Asli

Pemikiran Estetika Muhammad Iqbal

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Ikhya Ulumuddin[1]

Dalam peradaban Islam sastra dan kajian sastra penting karena ia sangat membantu dalam perkembangan ilmu tafsir atau tafsir al-Qur’an, dan orang Islam yang bernar-benar terdidik dalam Islam dalam bidang keilmuan tahu bahwa tafsir merupakan asas dan induk ilmu-ilmu Islam yang ain. Tanpa semaraknya kaian filologi, poetika Arab, semantic, tata bahasa dan hermeneutika (ta’wil) pada awal tarikh Islam maka perkembangan ilmu tafsir akan terlambat.

Di luar kebudayaan sendiri sastra Islam tidak sedikit sumbanganya terhadap kesustraan dunia. Seak zaman Renaisans sampai awal abad ke-20 sastra Islam tidak henti-hentinya mempengaruhi perkembangan sastra eropa. Di lain hal, al-Qur’an dengan gaya bahasanya yang indah, berhasil menyadarkan orang Islam akan pentingnya sastra dan ilmu bahasa serta seni dan poetika. Al-Qur’an penuh dengan hikmah dan kisah-kisah menarik yang setiap kali dapat dijadikan sumber ilham dan rujukan kreativitas sastra. Dapat dikatakan bahwa sastra tidak mungkin berkembang dalam Islam tanpa disulut oleh poetik dan estetik al-Qur’an.

Peranan penting sastrawan dalam penyebaran agama Islam sangat banyak buktinya dalam sejarah. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini peranan penting sastrawan Muslim dalam menulis dan menyebarkan kisah nabi Muhammad saw dan nabi-nabi Islam yang lain. Kisah-kisah itu dapat menarik perhatian masyarakat, sebab disaikan dalam bentuk karya sastra dan membantu menumbuhkan kesadaran religius dan kesadaran sejarah umat muslim. Begitu pula halnya dalam penyebaran kisah para sahabat, Wali dan pahlawan-pahlawan Islam terkemuka dalam sejarah, peranan sastrawan sangat menonjol. Para sastrawan pulalah yang berada di garda depan dalam mentransformasikan simbol-simbol al-Qur’an, dan sejarah Islam  menjadi symbol budaya masyarakat muslim sejagat. Melalui simbol-simbol budaya itu umat Islam yang berbeda etnik, bangsa dan latar belakang kebudayaan dapat dipersatukan secara batin yaitu melalui kesadaran budaya dan adab yang sama.

1.Biografi Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 22 februari 1873 di Sialkot Punjab dari keluarga yang nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Setelah menamatkan sekolah dasar di kampong kelahirannya pada tahun 1895 ia segera melanjutkan pelajarannya di Lahore. Ia telah mendapat binaan dan gemblengan dengan jiwa muda yang berhati baja oleh Maulana Mir Hasan seorang militan kawakan teman ayahnya. 330

Ulama ini memberikan dorongan dan semangat yang mewarnai dan mendasari jiwa Iqbal dengan ruh agama yang senantiasa bersemayam dalam jiwanya, menggelora dalam hati anak muda, menentukan gerakan dan langkah, tujuan dan arah. Keberhasilan ulama tersebut dalam membinanya membawa kesan yang mendalam di hati Iqbal.

Seorang orientalis kenamaan Sir Thomas W. Arnold yang memiliki pandangan yang lain terhadap islam adalah termasuk pula gurunya. Ia melihat akan kecerdasan Iqbal dan menyarankan agar Iqbal sudi melanjutkan studinya ke Eropa. Saran tersebut dilaksanakan sehingga pada tahun 1905 Iqbal melanjutkan studinya di fakultas Hukum Universitas Cambridge Inggris hingga kemudian memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu tersebut.

Tertarik akan ilmu filsafat, Ia juga sempat mengenyam tingkat doctoral dalam filsafat modern pada Universitas Munich di Jerman dengan desertasi The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia) dengan nilai yang sangat memuaskan[2]

2. Pemikiran M. Iqbal Mengenai Ekspresi Kreatif Seni

Dalam pandangan Iqbal, kemauan adalah sumber utama dalam seni. Sehingga seluruh isi seni adalah sensasi, perasaan, sentiment, ide-ide dan ideal-ideal harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir atas dasar  dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia.

Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam. Karena itu Iqbal memberi criteria tertentu pada karya seni ini :

Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan manusia. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakkan semesta.

Dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yangharus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata. Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut dibalik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi kehidupan.

Dalam syairnya, Iqbal menyatakan :

Tuhan menciptkan dunia dan manusia membuatnyalebih indah. Apakah manusia ditaqdirkan untuk menjadi saingan Tuhan? Kau ciptakan malam, aku ciptakan lentera. Kau ciptakan lempung, aku ciptakan cawan. Kau ciptakan padang pasir, gunung, dan rimba, aku ciptakan kebun, taman dan hutan buatan. Akulah yang membuat batu menjadi cermin.akulah yang merubah racun menjdi obat. Kebesaran manusia terletak pada daya ciptanya. Bulan dan bintang hanya mengulang kewajiban yang ditetapkan atasnya.

Kedua, kreatifitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi harus benar-benar menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi), dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa yang ada’[3]

3. Seni Menurut Muhammad Iqbal

Pada masa Iqbal, setidaknya ada dua gertutakan yang berkaitan dengan seni. Pertama, gerakan anti fungsionalisme, yakni gerakan yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai tujuan dan tidak mengejar tujuan diluar dunia, karena ia adalah tujuan itu sendiri. Selogannya yang terkenal adalah seni untuk seni (i`art pour i`art). Maksudnya, kualitas yang khusus dari seni adalah keindahan, dan ia sekaligus merupakan nilai dasarnya yang absolut, menyeluruh dan tertinggi, mengalahkan nilai-nilai yang lainnya, harta kebenaran dan kebaikan. Sedemikian, sehingga dengan nilai tertinggi tersebut, seni wujud untuk dirinya sendiri. Ia bersifat otonom, mempunyai daerah sendiri dan kelengkapan sendiri, tidak bergantung pada daerah lain.Gerakanyang merupakan warisan kaum romantisisme ini, di prancis dipelopori oleh flauber, gauter danBaudelaire, di inggris oleh walter peter dan oscar widle, di rusia oleh pushkin, dan di amerika oleh edgar allan poe.

Kedua, gerakan yang dipelopori oleh psikolog john fredrich herbart yang kemudian dilanjutkan olehHanslick, Fielder,Clive Belldan Roger Fry. Gerakan ini membedakan atara kandungan dan bentuk seni. Menurutnya, kandungan seni tidak mempunyai niali estetika, tetapi hanya sekedar alat untuk menimbulkabn efek artistic. Apa yang disampaikan lewat seni, baik atau buruk, benar atau salah, sesuai dengan hokum atau tidak, tidak menjadi masalah dan tidak berpengaruh pada nilai seni; yang penting adalah bagaimana penyampaiannya, pada bentuknya.Nilaiestetika berkenaan dengan bentuk, hubungan atau pertalian, sehingga selogan “seni untuk seni” berupa menjadi “bentuk untuk bentuk”. Dalam sebuah musik, misalnya, keindahan tidak terletak pada satu not tertentu, tetapi pada hubungan atau keselarasan diantara not-not atau bunyi-bunyi yang lain ketika dibunyikan secara bersamaan. Artinya, cita rasa artistic adalah hasil pemahaman yang sempurna terhadap pertalian yang berbentuk oleh unsur-unsur yang kompleks.

Iqbal menolak kedua model gerakan tersebut. Baginya, seni tanpa keadaan emosi, kemauan dan gagasan-gagasan tidak lebih dari apa yang telah padam. Sesuai dengan konsepnya tentang kepribadian, kemauan adalah sumber utama dalam pandangan seni Iqbal, sehingga seluruh isi seni-sensasi, perasaan, sentiment, ide-ide dan ideal-ideal harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak hanya sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang dibumbui emosi dan mampu mengetarkan manusia (penanggap). Tegasnya, dalam pandangan Iqbal, seni adalah ekspresi diri sang seniman.

Karena itu, Iqbal memberi criteria tertentu pada kiarya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kratif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan filsafat Iqbal yang menempatkan kreatifitas sebagai hakekat kehidupan, karena dengan sifat-sifat itulah tuhan mencipta dan menggerakkan semesta. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, kreativitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi harus benar-benar menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karnya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi), dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan  pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus menciptakan “apa yang seharusnya” dan “apa yang belum ada”, bukan sekedar menggambarkan “apa yang ada”.  Dalam salah satu puisinya, iqbal mengecam dan menyebut sebagai kematian terhadap seniTimuryang meniru seni Eropa.

Iqbal menulis puisi pada saat-saat tertentu saja, yang diilhami atau didorong oleh berbagai macam topic yang terjadi. Ia juga pernah melakukan tugas yang ambisius. Pada 1915 diterbitkan ewdisi pertama puisinya yang panjang dalam bahasa parsi – tentang “secrets of self” di mana ia mendorong perlunya pengembangan diri, serta menyerang penyair dan sufi yang mengabaikan atau menentangnya. buku itu menimbulkan perlawanan yang hebat. Iqbal telah mengkritik penyair Persia yang termasyhur, Hafidz, yang mempunyai banyak pengagum di india. lebih dari pada itu, ia menyerang mistik islam sebagai kuno dan melemahkan. Kontroversi panas timbul hingga sebagian pengagum Iqbal, seperti Khawaja Hasan Nizami, melawan dia. Iqbal sendiri mempertahankan pendapatnya dengan  segaa kekuatan dan keahlian. Akan tetapi, ia menghapus dalam edisi berikutnya syair-syair tentang Hafidz, yang memberikan celaan, dan juga introduksi panjang, di mana ia menganjurkan rakyat utuk mempelajari pemikiran barat – khususnya literatur inggirs – yang sepi dari pengaruh-pengaruh yang tidak sehat dan tidak panteistik.[4]

Sebagaimana pembaharu lain yang muncul pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 M, Iqbal memandang situasi buruk yang dihadapi umat islam disebabkan oleh faktor, yang secara simbolik dinyatakan dalam ungkapan ‘asing terhadap keindahan pribadi dan akhlaq nabi Muhammad, serta asing terhadap hakikat yang sebenarnya dari ajaran agama Islam’. Diantara hakikat ajaran Islam yang dilupakan oleh umat Islam ialah mencintai ilmu pengetahuan, persaudaraan, persamaan, keadilan dan toleransi. Khususnya toleransi antara sesama madzhab yang berbeda-beda dalam Islam.

Pada waktu Iqbal menulis karya masterpiece- nya Asrar-i Khudi (Rahasia-rahasia diri, 1917) Iqbal telah banyak meninggalkan pandangan kaum sufi tradisional. Dia memandang “pribadi manusia hanya dapat diperkuat oleh cinta (‘isyq)” dan yang dimaksud Iqbal dengan cinta ialah asas khallaqiyah atau prinsip kreatif yang meliputi segala sesuatu yang hidup di dalam semesta dan diri manusia’. Cinta yang paling asas bagi umat Islam ialah cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, juga cinta kepada martabat umat Islam, berkeinginan untuk membentuk memajukan dan memperbaiki nasib umat, serta menghargai hasil-hasil terbaik dari kalangan ulama, cendikiawan dan ilmuanya dalam berbagai disiplin ilmu dan kebudayaan.

Makna hakiki perkataan cinta terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Menurut Iqbal ialah cinta yang dapat mendorong seseorang tumbuh menjadi pribadi yang aktif dan dinamis, serta berkemampuan merasakan makna hidup dan arti keberadaan dirinya secara sungguh-sungguh. Cinta semacam ini bersemayam dalam diri seseorang yang teguh imanya dan siap mengurbankan hudupnya demi kepentingan agama dan kemanusiaan. Dalam hal ini Iqbal mengikuti guru kerohaniaanya Jalaluddin Rumi. Menurut Rumi arti semacam itu perasaan yang selalu akrab dengan pribadi nabi Muhammad dan ajaran Al-Qur’an Iqbal menulis dengan indah dalam salah satu ghazaln- nya:

Titik tercelang bernama Diri (pribadi)

Ialah api hidup dibalik abu kita

Disebabkan cinta ia menjadi semakin kekal

Semakin cemerlang dan bersiar-sinar

Kilatan pedang cinta ialah sumber hayat

Tebing curam gemetar tersosot pandangnya

Cinta ilahi pada akhirnya menanamkan

semangat ketuhanan dalam diri

Maka itu belajarlah mencintai dan dicintai

(“Pribadi teguh oleh cinta” dalam Asrar-i Khudi)[5]

Daftar Pustaka

Mustofa A, 1997,  Filsafat Islam. CV Pustaka Setia, Bandung

Mukti Ali H.A, 1998, Alam Pemikiran Islam Modern Di India Dan Pakistan. bandung, mizan

W.M. Abdul Hadi, 2000, Islam Cakrawala Estetik dan budaya. Jakarta, Pustaka Firdaus

http://filsafat-muhammad-iqbal-tentang-keindahan.xhtml%2Cdiakses 20 sept 2012

[1] Mahasiswa Ushuluddin, Jurusan Aqidah Falsafat, semester VII

[2] A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 330-331

[3] http://filsafat-muhammad-iqbal-tentang-keindahan.xhtml%2Cdiakses 20 sept 2012

[4]H.A. Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern Di India Dan Pakistan, (mizan: bandung 1998), hlm. 179

[5] Abdul Hadi W.M, Islam Cakrawala Estetik dan budaya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 59

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline