Lihat ke Halaman Asli

Percakapan antara Sergiala dan Bulan: Harapan

Diperbarui: 23 Juli 2021   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: pinterest

Sebuah tebing yang menjadi pembatas terhadap laut setelah hutan itu adalah tempat favorit sang Serigala untuk bertemu cinta pertamanya. Sendu angin malam, sepi ujung tebing, dan riuh bunyi serangga selalu kompak menemani sang Serigala untuk bercengkrama dengan sahabat yang sekaligus cinta pertamanya tersebut. Adalah Bulan, sosok yang tidak bosan untuk ditemui oleh Serigala.

Wujud Bulan selalu berbeda-beda, terkadang ia Bulat sempurna dan bercahaya gemerlap. Terkadang ia sabit dan tegas dengan lancipnya. Kadang pula ia berbentuk setengah dan tertutup awan yang nampak hitam. Dan sesekali, ia menjadi merah dengan sedikit marah. Perbedaan itulah yang menjadi alasan sang Serigala untuk berbincang tentang segala hal hingga Bulan dipanggil dan diganti oleh Matahari.

Malam itu, Bulan berbentuk Bulat sempurna dan cahayanya mampu menyoroti laut yang tenang beralunan maju mundur statis. Sang Serigala datang dengan mulut yang berlumuran darah. Ia berjalan perlahan menuju ujung tebing itu sambil ditiupkannya angin dingin pada bulu-bulunya yang berwana putih keabuan. Serigala selalu datang dengan sebuah topik yang bisa jadi tentang masalah yang tidak berkesudahan. Meski kadang sang Serigala gengsi untuk menceritakan apa yang tengah terjadi.
Namun Bulan selalu mengerti, menerima, dan mendengarkan.

"Auuuuuuu" Lolongan panjang sebagai tanda bahwa sang Serigala mencoba memanggil Bulan.
"Ayolah, tak perlu memanggilku seperti itu, aku sudah paham kau akan datang, masalah apa sekarang yang kau ingin ceritakan, Putih?" Respon Bulan pada Serigala dengan yakin.

Sang Sergiala mengelak, dia mencoba membuang muka sambil menegaskan, "Apasih maksudmu, darah di mulutku? Aku baru saja makan! setiap serigala, bahkan seluruh makhluk hidup butuh makan agar tetap menjadi mahkluk hidup!"
"Tapi Putih, hanyalah seekor mamalia yang terganggu jika tidak bisa menikmati makanannya. Lihatlah, kau bahkan tidak menghabiskan darah hasil buruanmu, kau malah meninggalkan begitu saja pada wajah burukmu itu." Jawab Bulan dengan tetap menaruh nada merdunya. "Kau sedang marah, kan? Jujur saja, siapa yang membuatmu marah kali ini? sekawanan lain di kelompok tersebut lagi kah?

Darah yang berlumuran pada mulutnya memang terlihat jelas, merah dan belum mengering. Darah tersebut memang ditinggalkan oleh sang serigala bukan tanpa alasan. Sang serigala sebenarnya baru menyantap seekor kijang. Tapi ia belum menghabiskan santapannya, bahkan ususnya masih banyak yang tertinggal di mayat kijang tersebut. Tapi alasan kenapa dia marah dan tidak menghabiskan santapannya bukanlah oleh "sesiapa".


"Kau salah! Oke, aku memang marah, namun ini bukan oleh siapapun! aku tak berhak menyalahkan siapapun, aku mengutuk diriku sendiri, Bulan!" Saut Serigala sambil melampiaskan segala bentuk kemarahannya.
"Oke, kalau begitu, apa yang membuatmu marah? Sampai-sampai dan selalu saja kau menyalahkan dirimu, tidak kah kau coba saja salahkan pohon maple ditengah gerumunan pohon pinus itu? jelas-jelas dia menyimpang. Hahahahaha" Bulan bertanya sambil bergurau yang jelas merupakan kebiasaannya agar sang Serigala melunakan jati diri buasnya.
"Keinginan dan Harapan" jawab sang Serigala sambil menundukan kepalanya. "mengapa mereka selalu saja mencelakai makhluk hidup? Ini terjadi tidak hanya pada diriku seorang. Kawananku, para herbivora, pohon pinus, bahkan pohon maple yang kau sebutkan pun sering berkeingingan namun malah mati dilahap keinginannya sendiri."
"Putih..." Bulan merasa iba, ia melihat sang Serigala tersebut mulai meneteskan air mata.

Sang Serigala berbalik kearah hutan pinus lebat tempat ia datang. Ia merenungi seekor kijang yang disantapnya tadi. Dengan beberapa detik kejar mengejar dan satu lompatan, kijang tersebut berhasil di bunuh dan diambil hidupnya melalui gigitan keras pada lehernya. "Putih" adalah sosok sergiala hebat, ia mampu bertahan hidup dengan kondisi apapun, meski terkadang harus sendiri. 

Dia tetap tergabung pada kawanan layaknya serigala lainnya. Tetapi kerap kali ia di hakimi atas atas tindakan yang sebenarnya sama seperti serigala lainnya, dari Delta hingga Alpha. Namun Putih, sang Serigala itu tidak pernah ambil pusing, meskipun dia mampu menghabisi semuanya, ia memilih untuk pergi sesekali, karena berargumen dan bertarung dengan serigala yang berbeda pola pikir hanya akan merusak kawanan tersebut, karena perbedaan lah yang selalu sang Serigala sukai.

Namun, perbedaan dan keaneka ragaman yang ia dambakan sering kali melukai dirinya meskipun ia mampu bersabar sepanjang musim. Ia selalu berharap agar perbedaan dapat terlihat seperti kebun bunga warna warni milik sang petani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline