Lihat ke Halaman Asli

Ihsanuddin Izzu

Pimpinan Wilayah Sekolah Kita Menulis Cabang Jambi

Filosofi Kebangsaan Barat: "Winner Takes All", Bagaimana di Indonesia?

Diperbarui: 24 Januari 2024   03:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

---

Lewat di beranda media sosial saya, sebuah postingan dari salah satu figur di tanah air ini yang menyinggung persoalan filosofi kebangsaan di Barat dengan 'Winner takes All' (pemenang mengambil semuanya). Sedangkan di Indonesia itu lebih mengarah pada win-win solution (menguntungkan semua pihak). Saya pikir, ini sebuah bahasan yang menarik.

Membahas filosofi kebangsaan tidak dapat dilepaskan dari sisi fundamental atau jati diri bangsa itu sendiri. Dalam kasus ini, Indonesia memiliki sisi fundamental yang nilai-nilainya melekat pada pancasila. Pancasila sendiri pada substansinya adalah sebuah pengupayaan nilai yang diwujudkan untuk kesejahteraan masyarakat. Artinya, Indonesia berpijak di atas sisi fundamental Pancasila demi kesejahteraan rakyatnya secara adil dan harmonis. Sedangkan negara Barat, mereka berpijak pada sisi fundamental 'ala' Eropa (Fundamental Rights in Europe) yang mempunyai substansi menjamin kebebasan (liberte) rakyatnya. Terdapat 2 (dua) kata kunci 'sejahtera' dan 'bebas'. Keduanya baik dan sah-sah saja secara kulturistik. Tapi dalan kasus ini tentu berbeda secara prinsip dan itu sangat erat kaitannya dengan filosofi kebangsaan.

Sebab filosofi kebangsaan merupakan hal yang paling transendental dalam membangun sebuah negara. Arah sebuah negara ditentukan oleh bagaimana para petinggi suatu bangsa menafsirkan filosofi kebangsaan mereka masing-masing. Jika salah kaprah, maka akan fatal. Bisa-bisa sebuah bangsa akan berjalan dengan filosofi yang keliru karena perenungan terhadap filosofi kebangsaan terdistorsi atau bisa juga karena tidak dipikirkan secara serius.

Negara barat dengan filosofi 'winner takes all'-nya sudah sesuai dengan budaya dan peradaban yang telah dibangun mereka. Sebagian besar negara barat biasa dibangun dengan 'power struggle' (adu kekuatan). Mereka yang kuatlah yang berkuasa. Mereka yang lemah akan menjadi lebih rendah. Ini menjadi normal apabila sisi fundamental 'kebebasan' tadi disertakan dalam proses kebebasan power struggle-nya.

Di Indonesia sendiri, kita tidak bisa melestarikan itu. Indonesia dibangun dengan pondasi keramahan, gotong-royong dan persatuan. Tidak bisa disamakan dengan 'ala barat' dengan fundamental rights. Sebab, akan tertolak secara common society (masyarakat umum) kita. Masyarakat kita terbiasa saling bantu, kerja sama dan bergotong-royong. Kalaupun seandainya bertarung, pasti nanti menyatu kembali. Fenomena ini sudah banyak diperlihatkan oleh banyak negarawan di Negeri ini. Banyak yang kemarin bertarung, hari ini satu koalisi ataupun sebaliknya. Kita tidak menganut 'winner takes all' (pemenang mengambil semuanya) akan tetapi kita menganut 'winner guards all' (pemenang menjaga semuanya).

Dengan fenomena yang ada sekarang, penulis melihat kita mulai pelan-pelan mengikuti filosofi ala barat itu. Dengan segala ketidaksiapan kita dan kemampuan kita, sebagian dari kita 'nekat' menerapkannyam Alhasil, banyak fungsi kebangsaan yang dijalankan secara prematur oleh sebagian golongan. Akankah ini menjadi 'rayap' bagi filosofi kebangsaan kita?

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline