Lihat ke Halaman Asli

Ihsanuddin Izzu

Pimpinan Wilayah Sekolah Kita Menulis Cabang Jambi

Antara Politik "Bagi-bagi Kue" dan Politik "Balas Budi"

Diperbarui: 6 Desember 2023   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Antara Politik "Bagi-bagi Kue" dan Politik "Balas Budi".

Oleh: M. Ihsanuddin Izzu M.

(Pimpinan Wilayah Sekolah Kita Menulis Cabang Jambi).

Membahas persoalan politik memang tidak ada habis-habisnya. Sebab, politik adalah sebuah skema yang saling kait-mengkait satu dengan yang lainnya. Belum lagi di setiap tataran, politik mempunyai cara kerjanya masing-masing. Tapi yang sangat menonjol hari ini ada dua, yaitu : "Politik Bagi-bagi Kue dan Politik Balas Budi."

Saya coba menelaah kedua cara kerja ini. Tidak hanya untuk mencari kesalahan-kesalahannya saja, tapi alasan kenapa harus seperti itu? Dan yang pasti, tidak menutup kemungkinan nanti ada pembenaran terhadap kedua cara kerja tersebut.

Dapat dipahami bahwa dalam politik di tingkat manapun, baik tataran paling bawah sampai paling atas pastilah memiliki koalisi. Hampir semuanya berkoalisi. Karena dengan berkoalisi pemeran politik akan mendapatkan "daya tarung" yang berlipat ganda. Ketimbang dengan yang berdiri sendiri secara independen, pastilah jauh perbandingan "daya tarung"-nya. Mungkin dengan alasan inilah kenapa pemeran politik jarang sekali yang berdiri sendiri secara independen.

Setelah mendapat "daya tarung" yang besar, sebuah koalisi pasti dengan percaya diri untuk bertempur di medan peperangan. Karena daya menentukan asa atau semangat juang orang-orang yang berperan dalam suatu koalisi. Jika "daya tarung" melemah, orang-orang yang berperan dalam koalisi tersebut juga pasti melemah. Maka dari itu, kekuatan sebuah koalisi sangat bertumpu pada "daya tarung" yang dimiliki koalisi tersebut. Kalau besar daya tarungnya, tentulah persentasi kemenangan akan semakin membesar. Maka tercapailah tujuan koalisi yakni untuk mencapai "gerbang" kemenangan.

Anggaplah ada sebuah koalisi memang dengan "daya tarung" yang besar, setelah itu koalisi tersebut harus apa? Jawabannya adalah, harus koalisi lagi untuk "bagi-bagi kue" jabatan yang sesuai dengan kualifikasi tertentu menurut barisan. Kalau tidak, pastilah "kue" yang dibagi-bagi tadi tidak merata dan jauh dari kata sesuai dengan keahlian pemeran. Konsekuensi cara kerja politik "bagi-bagi kue" ini bisa terwujud karena adanya satu kepentingan dan kesepakatan bersama yang dibangun dengan komitmen dan kepercayaan yang kuat, hanya sebatas itu. Politik "bagi-bagi kue" bisa saja 'mangdheg' di pertengahan masa kepengurusan/masa kerja jika kepengurusan, apa sebab ? Ketika salah satu pihak tidak komitmen atau menghianati kepercayaan sebuah koalisi/kepengurusan. Maka untuk mengantisipasi hal ini, haruslah dibangun frekuensi mitra seperti yang dijalin oleh para pebisnis dan kliennya, para administrator dengan rekan kerjanya atau seperti para buruh tani dengan tuan tanahnya. Semuanya saling memberi hubungan yang berkesinambungan dan saling menjaga. Itulah yang seharusnya dibangun.

Di sisi lain, terdapat juga cara kerja politik yang dikela dengan istilah "Politik Balas Budi". Tentu ini sangat familiar di beberapa kalangan kita. Politik balas budi terjadi ketika seseorang yang mempunyai kekuasaan memberi kekuasaan kepada orang lain atas dasar kebaikan orang tersebut di masa lalu. Baik itu bersifat moral maupun material. Politik balas budi ini seringkali dianggap sebagai cara kerja yang negatif dalam sebuah skema perpolitikan. Karena dianggap mengsubjektifikasi sebuah kekuasaan yang dimiliki sesuka hati dan cenderung dianggap sewenang-wenang. Itu generalisasi yang sering terjadi. Meskipun tidak sepenuhnya salah, tapi saya mencoba untuk menarik "serat-serat" positif yang bisa diambil dari cara kerja politik balas budi ini.

Cara kerja politik balas budi idealnya haruslah dilakukan untuk bisa memberdayakan SDM secara bersama untuk kepentingan berbangsa dan bernegara. Tapi realita yang terjadi hari ini, politik balas budi hanya sebatas transaksional dan saling menutupi 'kebusukan' satu sama lain. Hal ini tentu disorientasi dengan 'serat-serat' positif yang coba saya terangkan di atas. Sudah sangat jauh dari orientasi positif yang dimaksud.

Maka dari itu, tidak salah juga bahwa hari ini orang-orang menilai bahwa cara kerja politik "bagi-bagi kue" dan cara kerja politik "balas budi" adalah skema yang kotor. Itu karena mereka juga disuguhi tontonan yang kotor pada penerapannya. Oleh karena itu, jika hal ini semakin marak terjadi dan berlarut-larut tanpa ada esensi dan rel perjalanan yang jelas. Mau di kemanakan sebuah kepengurusan organisasi/instansi akan dibawa ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline