Lihat ke Halaman Asli

Anomali Curhat

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

curhat2.jpg

:catatan sederhana tentang kenangan oleh Ihsan Subhan

Apakah kitapernah mengingat segala keindahan yang kita alami dengan seseorang yang kita sayangi? Padahal sekarang kita bukan lagi siapa-siapanya dia. Padahal kita sulit untuk mengembalikan keindahan itu dengannya. Apakah ia sudah tidak memperdulikan kita lagi? Ataukah memang ia –pun sedang memikirkan apa yang kita pikirkan ketika kita sendiri menatap ke belakang hanya untuk mengenang, dan ingin rasanya kita kembali kepadanya. Sebab pada saat kita membandingkan apa yang kita dapatkan saat ini dengan tempo dulu kita lebih sejahtera dengannya. Hidup kita sungguh seperti kehidupan yang banyak bunga-bunganya. Kita santap bunga itu dengan madu-madunya. Kita reguk keceriannya, kita teduhi kelopaknya, kita cium harumnya. Dan kita kenakan keindahan sebagai tiara cinta kita—terpasung dekat hati yang paling dalam.

Padahal kitabukan siapa-siapanya lagi. Kita hanya kenangan yang selalu jadi lamunan. Kita adalah segenggam penyesalan yang hina. Kita hanya seseorang yang betapa sunyi saat orang-orang tengah berisik di depan, belakang, atau samping kita. Dan kita selalu sadar padahal kita bukan siapa-siapanya lagi.

Lalu apa yangkita lakukan saat ini?

Mencemasi beberapa kepingan hati yang selalu patah dan sulit untuk disambungkan. Ya.Walau masih ada perekat yang dapat memasang kepingan-kepingan itu. Namun tidak ada yang begitu mampu merekatnya dengan perekat kasih sayang yang dalam, yang tulus. Dan keikhlasan adalah perekat yang abadi. Di sana ada sorga yang putih, seputih susu, ada pula cahaya, sekilau bintang, sesilau matari.

Haha. Padahal kita bukan siapa-siapanya lagi. Tapi kita masih berani mengenang. Apa yang musti kita lakukan? Jika hanya mendengus tanpa tujuan lebih baik kita luapkan saja sebagai tulisan, walau tidak sebaik puisi atau tidak setegang alur cerita pendek. Maka, kita tulis saja curahan-curahan hati ini tanpa ada beban dan keraguan. Ini hanya ungkapan dari kepedihan yang menyakitkan pada saat kita memang selalu kesepian dan mengingat masa-masa indah dengan seseorang yang kita sebut "sayang" atau dalam bahasa sunda yang berarti "kanyaah" dan "kadeudeuh"

Apakah kita pernah mengingat ini?

harapan-harapan yang dibangun dengan doa dan ikhtiar. Mimpi-mimpi yang dibangun dengan keringat dan air mata. Janji-janji yang disusun dengan sekotak lidah dan bibir, dengan tangan, dengan anggukan, dengan tulisan. Kita menyumpah serapahi diri kita supaya kita menjadi orang yang taat dan kuat, dengan kesetian dan keyakinan. Selalu saja ada percakapan sederhana yang kita rasa amat mewah. Sebab kita berkata dengan sejujur-jujurnya, sesuai dengan apa yang kita rasakan tanpa kita tawarkan keraguan. Aggghhhh... apa kita harus mengunci diri. Padahal kita sudah bukan siapa-siapanya lagi. Hahaha. Memang sedikit kita musti berbohong. Kita selalu memaksakan keadaan yang sebetulnya tidak cukup untuk meredakannya, jika ia tidak ada di samping kita. Atau ia tidak lagi menyapa kita apa itu di pesan singkat ponsel atau telephone. KITA SELALU BERBOHONG untuk menutupi bahwa kita merindukannya, dan ingin sekali menjumpainya, atau sekedar memberi sapaan hangat misal di pesan singkat ponsel atau telephone. LAGI-LAGI KITA MUSTI BERBOHONG dengan kesekian malam, kesekian hari, entah sudah ke-berapa kali.Kerinduan terus menghujani pipi kita. Mata kita membengkak dan kita menatap cermin, lalu melamun. Atau kita menyibukan diri untuk mencari sisa-sisa kenangan fisik yang masih tersimpan dan terselip di lemari, bantal atau komputer kita. Apa itu foto atau tulisan sederhana seperi surat, memo, atau puisi, yang disalin di folder tersembunyi. Ya. Dan sengaja kita sembunyikan untuk membohongi diri kita tentang betapa indahnya kenangan dan kerinduan.

Apapun yang terjadi, padahal kita bukan siapa-siapanya lagi. Entah angin dari mana udara itu terasa gerimis di hati. Setelah kita buka kenangan itu, setelah kita baca tulisan itu, foto itu. Subhanallah. Ada semangat yang menggebu, membara. Seperti kobaran api yang kita cipta dan rasakan pada saat pertama kali kita jatuh hati padanya. Ingin rasanya kita kembali pada pertemuan yang selalu gugup, pada pembicaraan yang kaku, pada merahnya pipi saat kita malu. Dan pada kenakalan yang kita sisakan, untuk begadang dan mengganti jadwal tidur kita menjadi semakin malam. Sebab kita tahu asmara amat memuncak atas dasar kerinduan yang mendalam karena kita sulit bertemu—hanya telephone-lah yang menjadi genggaman kita di gigir telinga kita.

Ah. Padahal kita sudah tidak diakui lagi olehnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline