Muhammad Sholihin*
Tesis yang dapat diajukan dalam tulisan ini adalah bahwa: "upaya meng-import dosen adalah bentuk subversi neo-kolonialisme terhadap pendidikan nasional." Bagaimana tesis ini diuji? Maka, diperlukan upaya mempersoalkan nalar di balik usaha pemerintah mengimpor dosen asing untuk mengajar di Indonesia.
Nalar pemerintah mendatangkan dosen asing, didasarkan pada proyeksi mutu dan kualitas. Melalui skema world class professor,atau WCP, para profesor asing didatangkan dengan harapan agar dapat menstimulasi kapasitas dosen lokal di Perguruan Tinggi Indonesia. Tentu hal ini dengan cost atau biaya yang mahal dan tidak sedikit.
Dalam sebuah media massa, Ali Ghufron Mukti, Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti, mengutarakan bahwa melalui World Class Profesor, dosen asing bisa mengajar dan meneliti lebih intens di Indonesia. "Kita maunya lebih lama. Jadi bisa memberikan dampak peningkatan mutu." Ujar Ghufron. Niat baik pemerintah ini tentu dapat dipahami, tapi belum tentu dapat dibenarkan berdasarkan prinsip politik-ekonomi dan politik pendidikan bangsa Indonesia.
Anasir awal yang dapat dibangun dari kebijakan ini adalah bahwa pemerintah tengah mengalami krisis kepercayaan diri dalam mendorong kualitas dan jangkauan keilmuan dosen di Indonesia. Krisis kepercayaan diri ini tentu disebabkan oleh common perspective yang digunakan oleh aparatur pemerintah dalam memahami persoalan.
Pemetaan pemerintah terhadap kualitas perguruan tinggi di Indonesia, barangkali telah memicu pemerintah harus meminta bantuan luar negeri, dalam membuat perguruaan tinggi Indonesia sejajar dengan universitas kelas dunia. Namun, ironisnya pemerintah terlalu jauh melompat merumuskan solusi, dan ingin sesuatu yang instan.
Maka, diimpor-lah kemudian dosen asing, agar dosen pada Perguruan Tinggi di Indonesia, tercerahkan. Belum lagi reda nada sumbang terkait kebijakan pemerintah, dalam hal ini, Kemenristik-Dikti, membebani dosen dengan publikasi internasional di jurnal Scopus. Pemerintah kembali memantik api.
Lantas, bagaimana makna yang harus diberikan pada kebijakan impor dosen ini? Merujuk pandangan yang telah diajukan oleh Dip Kapoor (2011: ix), seorang profesor Kajian Kebijakan Pendidikan di Universitas Alberta, Kanada, dengan lugas menyatakan bahwa restrukturisasi pendidikan melalui "modernizing-education" ditentukan dan dibentuk oleh politik ekonomi neo-kolonial. Titik penekanannya adalah reproduksi "cultural interest of capital" merujuk pada standar yang dibangun oleh otoritas global.
Pertanyaannya, apakah kebijakan pemerintah Indonesia dibangun dalam kerangka ini? Barangkali, pemerintah bisa berdalih, "tidak ada hubungannya dengan agenda neo-kolonial. Ini murni sebagai ikhtiar untuk mendorong kualitas dosen dalam negeri. Serta menjadi stimulus agar dosen berbenah, dan meninggalkan tradisi homo-politicus---mengejar kekuasaan, meninggalkan fitrah sebagai homo-academicus." Dapatkan dalil ini diterima?
Argumentasi semacam itu, memang berada dalam locus nalar-instrumental. Negara pada kondisi alamiahnya, ingin mendapatkan out-put terbaik dari kompetensi dosen. Namun, ironis perguruaan tinggi bukanlah 'common good' yang bisa diberlakukan padanya nalar ekonomi. Tapi, perguruan tinggi adalah ruang-kultural dimana para homo-academicus, berkerja secara otentik sebagai seorang intelektual yang merdeka dan mandiri.
Maka, sejatinya negara tidak elok memahami perguruan tinggi sebagai objek persaingan layaknya sebuah perusahaan, dengan indikator keberhasilan sangat materialistik dan kalkulatif. Jika yang terjadi sebaliknya, maka negara tanpa disadari akan menyeret perguruan tinggi menjadi subversi neo-kolonial, dimana corak keilmuan---aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, yang diproduksi di perguruan tinggi di Indonesia, sangat tergantung pada eksistensi aktor-asing, dalam hal ini adalah dosen asing.