Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Buruhisasi Dosen

Diperbarui: 18 September 2017   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Test CPNS untuk formasi dosen tahun 2017 resmi dibuka tanggal 11 September 2017, baik di lingkungan Kemenristek Dikti maupun Diktis Kemenag RI. Ini menjadi kabar gembira bagi putra-putri bangsa yang berkeinginan menjadi dosen di perguruan tinggi negeri. Hanya saja rekrutmen CPNS Dosen untuk formasi dosen ini membuat Dosen Tetap Non PNS gigit jari dan meradang.

Sebagian mereka tak dapat ikut serta, karena terhalang usia. "Dosen Tetap Non PNS, atau lebih populer dikenal dengan dosen kontrak merasakan dengan adanya rekrutmen CPNS formasi dosen ini akan kembali membuat mereka seperti dianak tirikan." Ujar Budi Birahmad, MIS---Ketua IDTN PNS RI.

Pernyataan Budi Birahmad di atas dapat dimaklumi, karena saat ini eksistensi Dosen Tetap Non PNS di Perguruan Tinggi Negeri, sesungguhnya adalah buruhisasi dosen. Negara dapat menutupi kebutuhan akan dosen dengan harga murah. Negara tidak perlu menganggarkan dalam APBN. Dengan demikian, sewaktu-waktu mereka dapat diputus kontrak tanpa melihat aspek lain yang lebih manusiawi.

Masa Depan Suram

Ribuan Dosen Kontrak di Perguruan Tinggi Negeri, yang rekruitmennya didasarkan pada Permendikbud No. 83 Tahun 2013 dan PMA No. 3 Tahun 2016, merasa eksistensi mereka di Perguruan Tinggi Negeri bagaikan kelas kedua.

Perasaan inferior tersebut sah saja terjadi. Meskipun secara undang-undang mereka diakui, tapi perlakuan terhadap mereka tetaplah berbeda jika dibandingkan dengan dosen yang berstatus sebagai PNS.

Berbagai perbedaan tersebut sangat jelas adanya. Karir tidak jelas kepastiannya. "Jangankan soal jabatan fungsional. Masalah NIDN saja masih mengalami hambatan." Pungkas Anrial, salah seorang dosen kontrak di salah satu PTAIN.

Pengurusan NIDN bagi Dosen Kontrak terkesan lambat. Barangkali karena implikasi NIDN ketika diberikan kepada Dosen Kontrak cukup memberat Perguruan Tinggi Negeri. Seperti tunjangan fungsional; sertifikasi menjadi hak yang melekat pada mereka. Sementara pembiyaan tunjangan tersebut masih dibebankan pada PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Ini membuat Perguruan Tinggi Negeri kelabakan.

Perlakukan ironis lainnya adalah gaji dosen kontrak bervariasi antar perguruan tinggi negeri. Tak jarang ada yang di bawah upah minimum regional, dan tanpa jaminan sosial apapun. Ini tentu membuat rasa keadilan dosen kontrak terciderai.

Status kontrak yang melekat pada mereka, membuat dosen kontrak tidak mendapatkan hak sebagaimana mestinya. Umumnya dosen kontrak di Indonesia, khususnya yang berada di bawah lingkungan Departemen Agama Republik Indonesia, masih belum memiliki NIDN. Ini membuat mereka kesulitan untuk melakukan riset dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral.

Masa depan dosen kontrak yang suram kian nyata. Keberadaan mereka sewaktu-waktu dapat didepak dari universitas. Ini terjadi ketika universitas merasa tidak lagi membutuhkan mereka. Terutama tatkala terpenuhinya rasio dosen dan mahasiswa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline