Lihat ke Halaman Asli

Tentang aku, Dewi Lestari dan “Gelombang”nya

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3 April 2015, hari ini tanggal merah, aku yang sedang menempuh titik jenuh perkuliahan semakin terkulai lemas di kamar seharian, didukung nyeri pada perut bulanan pada perempuan, melengkapi keakrabanku dengan bantal dan lantai kamar pada hari ini.

Novel yang sedang hits jadi best seller ini sudah dua minggu lebih bertengger di rak bukuku, tapi sampai tadi pagi aku baru tersentuh untuk membacanya. Dan asal kalian tahu, apa yang terjadi, aku telah tersihir oleh tipu daya dan imajinasi Dee secara sempurna. Dalam sehari penuh hanya terpotong mandi, buang air kecil dan makan, buku setebal 474 halaman ini telah sukses berpindah ke secuil bagian dari memori di otakku.

Selama ini aku lebih bangga mengenalkan diri sebagai penulis daripada sebagai mahasiswi arsitektur, pertama karena aku tidak bisa menggambar dengan baik, kedua karena aku masih belum bisa melepas kenyataan bahwa langkahku mengambil disiplin ilmu ini bukanlah murni atas kehendak hati nuraniku, dan ketiga, aku masih dan takkan lari dari hobi dan kegemaranku membaca dan menulis sejak dalam pangkuan ibu sampai detik ini dan selamanya.

Dari kenyataan ini aku tak pernah mengontrol kebahagiaanku ketika disodori sebuah buku, entah fiksi maupun nonfiksi, ketika bersua dengan seorang tokoh karya, baik sastrawan maupun ilmuwan, baik kuli tinta maupun penulis biasa. Siapapun orangnya aku masih selalu berdecak kagum mendengar ceritanya, motivasinya, dan yang pasti menanti inspirasi darinya.

Tak terkecuali Dewi Lestari, aku telah mendengar namanya sejak aku masih duduk di bangku SMA, saat itu bukunya yang tenar adalah Supernova, Bintang Jatuh. Aku cukup tertarik membaca sekilas biografinya, kecenderungan karyanya, dan ide-ide gilanya yang membuat pembaca mengerutkan kening lebih lama dalam menikmati gelombang goresan penanya. Sampai akhirnya lahirlah bukunya berjudul Filosofi Kopi, yang awalnya kupikir adalah novel seperti Serial Supernova, tapi setelah aku membelinya, ternyata isinya adalah kumpulan cerpen semi esai yang dengan seketika aku tersihir olehnya lantaran judul globalnya mengandung sebuah minuman kegemaranku sejak sepuluh tahun belakangan ini. kini aku bersedih karena Filosofi Kopi-ku belum juga kembali ke panguanku, entah siapa yang meminjamnya aku lupa, hiks…

Tahun 2013, aku mendapat kesempatan menjadi bagian dari keluarga besar Kementerian Komunikasi dan Informasi di organisasi mahasiswa tertinggi di kampus, yakni Badan Eksekutif Mahasiswa. Disini aku semakin bahagia karena secara langsung membuka jalan lebar untuk bertemu dengan para penulis yang selalu luar biasa di mataku. Waktu itu, di akhir tahun 2013, kami panitia seminar kepenulisan POSEIDON, sedang berburu penulis untuk menculiknya sebagai pembicara pada event besar tahunan ini, diantara nama yang terbersit di kepalaku saat itu ialah Dewi Lestari, setelah kami mencari kesana kemari kontaknya yang bisa dihubungi, namun ternyata jawabnya sedikit mengecawakan. Beliau sangat mengapresiasi permohonan kami, tapi apa hendak dikata, waktunya kuranglah tepat, dalam surelnya, dia menjawab sampai tahun 2014 beliau belum bisa memenuhi permohonan para penggemarnya. Dan alasannya adalah karena dia sedang merampungkan satu proyek novelnya, lanjutan dari serial supernova. Mendengar hal itu, aku sedih juga sekaligus antusias. Sedih lantaran masih belum bisa mengawal beliau mengisi seminar POSEIDON di kampus kami pada tahun itu, dan antusias karena aku merasa menjadi bagian yang turut menanti kelahiran ‘putra’ beliau tidak lama lagi. Saat itu juga saya berpikir, bagaimana bisa saya mau menjadi penulis sesungguhnya, mau membuat cerpen atau puisi saja semuanya dipikirkan secara mendadak, instant dan tergesa-gesa. Aku merasa sangat malu dengan mbak Dee, beliau yang sudah punya nama besar, tulisannya luar biasa, karyanya dimana-mana begitu sangat menghargai proses kelahiran karyanya, itu satu pelajaran penting yang saya ambil dari sikap professional beliau sebagai seorang penulis. Keren!

Pada akhir tahun 2014, aku masih suka mengikuti berita beliau meskipun tidak bisa dibilang sebagai penggemar berat, karena proporsiku padanya masih berbanding sama dengan para penulis terkenal yang aku kenal lainnya. Seketika saat menyempatkan diri berkunjung ke salah satu toko buku di pusat perbelanjaan di Surabaya, saya lihat poster itu telah bertebaran dimana-mana, Gelombang telah hadir! “Anak” mbak Dee telah lahir! Betapa bahagianya hatiku melihatnya. Sayangnya saat itu kondisi isi dompetku sedang sangat mengkhawatirkan, bisa dipastikan jika aku nekat membelinya saat itu maka kemungkinan besar untuk seminggu kedepannya aku harus berpuasa penuh tanpa berbuka dan sahur, alangkah tragis bukan kehidupan mahasiswa perantauan ini! akhirnya kutahan hasrat itu sembari terus menyisihkan sekian rupiah tiap harinya untuk nantinya suatu saat mampu membelinya dengan uang hasil tabunganku sendiri. Di sisi lain aku juga meluaskan jaringan dengan para sahabat penggemar Dee barangkali salah satu dari mereka telah mempunyai hak milik atas si Gelombang itu.

Beberapa bulan sebelumnya aku rela merogoh kocek beberapa lembar untuk mengantre membeli tiket nonton film yang lahir dari novel fenomenal beliau, Supernova ; Ksatria, Putri, dan Bintang jatuh. Meskipun ingatanku telah membaca novel itu hilang antara yakin atau tidak telah membacanya, dan meskipun kualitas perfilman Indonesia masih jauh di bawah film eropa, aku sangat menghargai pemikiran mbak Dee sedemikian dahsyatnya merangkai imajinasi dengan ilmu pengetahuan begitu hebat, hingga untuk mevisualisasikan sangatlah rumit kurasa, dan akan lebih indah jika masing-masing pembaca membangun imajinasinya sendiri pada memori mereka. Tapi di luar itu semua aku sangat berterimakasih pada produser dan sutradara, telah membantu menerjemahkan imajinasi mbak Dee dengan sebaik mungkin. Overall, I am very excited about that! Amazing!

Awal tahun 2015, aku mendengar akan ada karya mbak Dee lagi yang akan difilmkan, betapa bahagianya mendengar hal itu, apalagi setelah kutahu ternyata yang dipilih adalah filosofi kopi. Disamping aku juga telah lama menyimpan film rectoverso di laptopku dan tak pernah bosan menikmatinya berkali-kali. Kemudian kutemukan sebuah poster dari salah satu grup di akun sosial mediaku, bahwa film filosofi kopi akan melakukan roadshow to campus, dan apa yang terjadi, di Surabaya salah satu universitas yang dipilih adalah kampusku, betapa bahagianya aku saat itu. Tak peduli dosen yang ada di kelasku waktu itu, segera setelah absen aku menyelinap keluar bersama salah satu teman aku berlari ke gedung dimana Rio Dewanto dan para tim filosofi kopi movie sedang berbincang, beruntungnya kami berdua, acara belum usai, dan kami mendapat kesempatan selfie bersama mereka di penghujung acara. Meski aku lebih ingin bertemu mbak Dee, setidaknya Rio Dewanto juga sangat sering bertemu beliau dalam proses pembuatan film ini, dan aku telah bertemu dan berfoto bersamanya J

Maret, sekilas kembali kudapatkan info menarik, lagi-lagi tentang mbak Dee, yakni ada lomba membuat review tentang gelombang, dan 20 orang yang terpilih dalam satu kota akan diberi kesempatan untuk hadir di Coaching clinic bersama beliau langsung, betapa bahagianya (lagi) aku, namun aku tetaplah manusia biasa yang dianugerahi lupa, tetaplah mahasiswi yang terlalu sibuk dengan tugas kuliah dan organisasi sampai lupa pada hal penting yang sudah kuimpikan itu. Pertama, tabunganku belum mencapai target untuk membeli si Gelombang itu, kedua, aku belum menemukan sahabat yang telah memiliki Gelombang dan telah selesai membacanya, ketiga, baru kuingat kembali ada lomba itu saat deadline-nya tertinggal 24 jam, dan kondisinya aku sedang ada pada rapat keorganisasian yang tidak bisa aku wakilkan. Mbak Retno, terimakasih banyak telah meminjamkanku Gelombang, meski waktunya kurang 24 jam, dia adalah salah satu sahabatku yang merupakan penggemar setia mbak Dee, dia mengikuti lomba itu, telah dia selesaikan review-nya dengan baik dan aku sangat men-support-nya, meski ternyata dia belum mendapatkan kesempatan emas itu, tetap semangat ya mbak Retno, kita pasti bisa ketemu mbak Dee di lain tempat, pasti itu!

Pada hari yang kurang 24 jam deadline lomba daerah Surabaya itu, kubaca poster pengumuman buat mereka yang ada di kota semarang, dan di nomer urut pertama aku sangat familiar dengan nama itu, mbak Dian Nafi! Wow, aku baru baru saja menerima sebuah antologi kisah nyata tentang emak-emak penulis yang luar biasa, dan beliau juga termasuk ada disana, selain mbak retno dan beberapa emak hebat lainnya. Aku telah mengenal mbak Dian Nafi cukup lama, entah kenapa mengetahui sosoknya yang luar biasa sangat menginspirasiku, selain karena latar belakang beliau dari dunia arsitektur menciptakan kedekatan batin yang lebih padaku. Bahkan aku sudah me-request satu naskahku untuk diterbitkan pada penerbit asuhannya, sungguh mbak Dian, engkau wanita luar biasa yang sangat langka ditemukan! Proud of you, mbakku!

Waktu telah berlalu hingga tiba tanggal dimana pengumuman pemenang lomba review Gelombang kota Surabaya, aku turut bersedih karena tak kutemukan nama mbak Retno disana, tetap semangat mbak Retno! Dan asalkan kalian tahu, nama pertama yang ada pada urutan daftar pemenang itu lagi-lagi bukan orang asing bagiku, dia adalah mas Stebby, wow! Pertama kali aku mengenalnya di komunitas susastra nusantara asuhan bunda Wina, mas Stebby ini tidak hanya seorang penulis, melainkan juga pemain drama, teater, dan berbagai keahlian seni lainnya. Lelaki asal probolinggo ini telah melahirkan puluhan bahkan ratusan cerpen dan puisi bertebaran dimana-mana, pernah naik panggung yang sama dengan yang pernah dia naiki menjadi satu kebanggaan tersendiri buatku. Mas Stebby keren!

Berbicara tentang sosial media, aku masih cukup setia dengan facebook, meski hanya sekedar memantau, mengambil tugas kuliah, atau sekedar pelepas penat melihat para idola dan menyapa teman dan sahabat jauh. Akan tetapi tak dapat kupungkiri, dari facebook pula aku mendapat banyak sekali inspirasi dari mereka yang luar biasa. Diantaranya, meski aku tidak bisa ikut serta coaching clinic bersama mbak Dee secara langsung, tapi melalui catatan dua orang hebat diatas, aku merasa menjadi bagian dari mereka, meskipun tidak secara fisik. Yakni mbak Dian Nafi dan mas Stebby, terimakasih mbakku masku, kalian membuatku merasa tercerahkan, dan semakin menghantuiku untuk segera membaca Gelombang yang telah dua minggu lebih ini nangkring di rak bukuku.

GELOMBANG. Karya mbak Dee susah ditebak, science-nya dapet, fiksinya dapet, imajinasinya dapet, romance-nya dapet, dan semua itu dikemas begitu indah dan sempurna oleh perempuan yang berzodiak sama denganku ini. kening berkerut, bulu kuduk meremang, dan airmata mengalir, itulah ekspresi fisik yang kualami saat menyelami Gelombang dalam waktu kurang dari 12 jam hari ini. untuk Alfa dan segala mimpi dan kehidupan dimensi lainnya, aku harus acungkan jempol untuk mbak Dee, tidak semua penulis mampu menyihir pembacanya sedemikian rupa. Dan untuk ekspedisi dan riset serius yang dilakukan mbak Dee selama bertahun-tahun hingga harus menolak beberapa undangan pembicara pada seminar-seminar, aku geleng-geleng kepala, gila! Untuk membuat sebuah novel science fiction pun, seorang professor mungkin akan kalah dalam perjuangan panjangnya melakukan penelusuran dan pencarian informasi yang kemudian dirangkainya dengan sempurna dengan imajinasi yang sangat liar dan di luar ekspektasi logika manusia biasa.

Mbak Dee, aku tunggu INTELIGENSI EMBUN PAGI!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline