Pasal pemerkosaan mengatur tentang ancaman hukuman pada pelaku berupa penjara selama 12 tahun. Namun apakah dari sana pelaku sudah dihukum secara adil, bagaimana dengan korban yang menderita?
Perbuatan pemerkosaan adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap seksual yang umumnya terjadi pada perempuan dan anak, namun tidak memungkiri juga terjadi pada kaum laki-laki, mengingat perkembangan saat ini.
Pemerkosaan merupakan suatu bentuk perbuatan kriminal yang termasuk isu seksual yang terjadi ketika seseorang memaksakan kehendak birahinya kepada manusia lain untuk mau mengikuti hasratnya melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina dengan penis, yang dilkukan secara paksa dan/atau dengan cara kekerasan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, perkosaan memiliki arti atau makna yaitu suatu perbuatan menggagahi atau melanggar dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan sendiri diartikan sebagai suatu cara, proses, perbuatan yang melanggar kesusilaan terhadap orang lain, yang dilakukan dengan cara paksa dan/atau dengan kekerasan pula (Purwadarminta, 1999).
Tindakan perkosaan di atur dalam pasal pemerkosan 285 kitab undang undang hukum pidana, mengenai pemaksaan bersetubuh di luar nikah akan mendapatkan pidana penjara 12 tahun.
Hal ini merupakan tindakan melanggar hukum yang bejat. Perkosaan di Indonesia masih mencerminkan bahwa pria lebih mendominasi daripada wanita. Undang-undang dinilai lebih melindungi kepentingan pelaku daripada korban karena ketidakjelasan peraturan serta pemakaian perkembangan menjadi kontroversi di masyarakat.
Dalam undang undang perkosaan di pasal pemerkosaan tersebut di jelaskan menenai proses penetrasi vaginal dan pelaku, sedankan memaksa tidak hanya itu saja. Memasukan sesuatu secara anal denan paksaan menggunakan jari atau benda lain juga merupakan kekerasan.
Sayangnya hal tersebut tidak dimasukan ke dalam undang undang padahal di dalam nya terdapat unsur pemaksaan, alias tanpa consent. Berdasarkan catatan komnas perempuan, setiap dua jam satu perempuan mengalami perkosaan.
Pelaku pelakukejahatan seperti ini memang pantas dihukum seberat berat nya termasuk di jatuhi hukuman "mati", walaupun di satusisi penjatuhan hukuman mati masi bisa menjadi polemic karena di anggap melanggar HAM, apalagi penjatuhan hukuman mati tidak diperbolehkan oleh sistem hukum pidana kita. T
etapi pernakah kita memikirkan HAM si korban termasuk hakasasi keluarga yang di tinggalkan. Di sisi lain para pelaku kejahatan seksual (pemerkosaan) di beberapa kasus pelakunya adalah anak anak,seperti kejadian di atas, bahkan kesadisan sang pelaku yang masi anak anak yang dalam UU SPPA disebut denga "anak yang berkonflik dengan hukum yang menekankan penyelesaian dengan pendekatan keadilan restorative" melebihi kesadisan orang dewasa.
Pertanyaan nya apakah "PANTAS" pelaku pelaku kejahatan kekerasan seksual yang pelaku nya adalah anak diberlakukan penyelesaian denan pendekatan "KEADILAN RESTORATIF" , hal tersebut menjadi pemikiran bagi kita semua, terutama kepada pemerintah DPR selaku Lembaga yan diberikan amanat oleh negara untuk membuat regulasi, untuk mengkajikembali UU SPPA, karena menurut pandangan penulis bahwa di satu sisi UU SPPA terlalu banyak memberikan perlakuan khusus kepada anak sebagai pelaku sedangkan UU perlindungan anak ingin memebrikan perlindungan yang maksimal kepada anak yang menjadi korban terutama korban kekerasan seksual dengan hukuman yang seberat berat nya.