Di tahun kesepuluh kenabian dikenal sebagai tahun kesedihan bagi Nabi Muhammadﷺ, karena Sayyidah Khadijah meninggal dunia, istri pertama yang sangat ia cintai, Ummahaatul Mukminin yang sering memberi ketenangan dan kekuatan kepada Nabi Muhammadﷺ ketika berdakwah. Tidak lama setelah itu, Abu Thalib juga meninggal, paman Nabi Muhammadﷺ yang dikenal sebagai sosok pelindung dari kejahatan orang-orang quraisy.
Tentu kepergian sang istri dan sang paman membuat Nabi Muhammadﷺ sangat bersedih. Terlebih saat paman nabi meninggal, berharap pamannya bisa mengucap kalimat syahadat, tetapi sang paman tidak mau mengucapkannya. Berharap hidayah bisa diterima oleh pamannya, namun pamannya tetap menolak.
Karena itu, Allahﷻ berfirman para surat Al-Qashas ayat 56 yang menegaskan:
“Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56)
Sepeninggal Kahdijah dan Abu Thalib, kaum Quraisy semakin berani mengganggu Nabi Muhammadﷺ. Serangan verbal bahkan fisik semakin berani ditujukan kepada Nabiﷺ, sehingga akhirnya beliau pun memutuskan untuk keluar berdakwah ke Thaif, berharap masyarakat di Thaif mau menerima hidayah.
Namun, harap-harap mereka menerima dakwahnya, Nabi Muhammadﷺ justru diserang dan dilempari batu oleh orang-orang Thaif hingga luka-luka. Bahkan, karena begitu beratnya kejahatan orang-orang Thaif ini, malaikat pun diutus untuk menawarkan bantuan kepada Nabiﷺ.
“‘Sesungguhnya Allahﷻ telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allahﷻ telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.”
Kemudian Nabiﷺ menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].
Begitu mulianya akhlak Rasulullahﷺ, bahkan dalam kondisi sedih dan teraniaya pun beliau tetap bersabar dan berprasangka baik kepada Allah serta tidak menyakiti. Meski orang-orang Thaif sekarang menolak dakwahnya karena belum tahu, Nabi Muhammadﷺ tetap berharap bahwa anak keturunan mereka kelak yang akan menerima risalah dakwahnya.
Bagi Rasulullahﷺ, kesedihan tidak dilampiaskan dengan tangis atau rasa duka-kecewa yang berlarut-larut, tidak pula dilampiaskan dengan kekerasan atau balas dendam, namun indahnya akhlak beliau rasa sedih disikapi dengan kesabaran, prasangka baik, dan rasa kasih sayang yang begitu dalam berupa doa kebaikan.
Ketika putra Nabi Muhammad, Ibrahim meninggal, Nabiﷺ pun menangis-meneteskan air mata. Kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Mengapa Engkau menangis, wahai Rasulullahﷺ?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).”