Lihat ke Halaman Asli

Mengendus Budaya Patriarki terhadap Perempuan Bali dalam Media

Diperbarui: 11 September 2024   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pinterest

Berbicara mengenai Bali, kata pertama yang terlintas adalah keindahan alamnya. Memang tidak dipungkiri jika hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Namun menelisik keindahan alamnya semakin mendorong minat wisatawan untuk melihat bagaimana budaya Bali. Perayaan tradisi serta agama yang sangat mencolok semakin mengikat ketertarikan wisatawan untuk selalu datang ke Bali. 

Budaya Bali masih kental di tengah arus revolusi jaman yang semakin mengikis bahkan menggeser adat-adat lama. Namun terkhususnya budaya patriarki di Bali telah menjadi subjek yang menarik dalam berbagai berita. Budaya ini memainkan peran penting dalam mengatur peran dan posisi perempuan dalam masyarakat Bali. Perempuan di Bali sering digambarkan dalam peran domestik dan subordinat, dengan laki-laki yang memegang peran sebagai kepala keluarga dan penghasil utama. Hal ini tercermin dalam adat istiadat dan tradisi yang masih kental di Bali.

Budaya patriarki ini juga menekankan pentingnya melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keturunan dan warisan keluarga, sehingga perempuan diharapkan untuk menikah dan memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan tradisi keluarga. Dalam konteks media, budaya patriarki ini tercermin dalam representasi perempuan yang seringkali bersifat stereotip dan diskriminatif. Perempuan digambarkan sebagai karakter yang lemah dan tidak berdaya, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai kuat dan berdaya. Hal ini dapat menyebabkan diskriminasi gender dan memperburuk kondisi sosial dan ekonomi perempuan

Stereotip Pernikahan

Mengambil cuitan dalam novel Tarian Bali karya Oka Rusmini yang menggambarkan ketimpangan sosial yang terjadi antara perempuan bali dengan laki-laki. Novel ini bercerita secara kompleks bagaimana kehidupan perempuan Bali dalam adat istiadat serta sistem kasta. Hal ini terlihat bagaimana kaum sudra memandang perempuan yang lahir dari kasta brahmana. Dalam sistem kasta di Bali kaum brahmana merupakan kaum yang tertinggi sedangkan kaum sudra menjadi kaum yang paling rendah. Pernikahan di Bali masi menuntut untuk perempuan bisa menikah setara, arti kata “setara” ini yaitu pihak laki-laki memiliki kasta yang sama dengan perempuan. 

Bagaimana penilaian kasta ini berlangsung? Ya tentunya ini terjadi secara turun-temurun dimana kasta didapatkan dari lahir yang sudah menjadi simbol dimasyarakat. Perempuan yang memiliki kasta tinggi sangat dilarang untuk “nyerod” menikahi pria dari kasta lebih rendah. “Telaga dibuang oleh keluarga Griya (keluarga Brahmana) dan tidak diberikan bekal apapun, ia harus meninggalkan kasta, keluarga, pelayan dan barang-barang mewah yang dimilikinya selama ini” (Luthfi, 2022) dalam Kumparan.com. 

Kutipan yang terdapat dalam novel nyata adanya dimana perempuan Bali yang memilih untuk menikah dengan kasta lebih rendah akan menerima penolakan keras dari keluarganya bahkan bisa dibuang. Budaya ini seperti menyudutkan pihak perempuan Bali untuk selalu bisa menjaga kastanya dengan konsekuensi yang tinggi. Pada hakikatnya pernikahan merupakan keputusan universal masing-masing orang baik perempuan maupun laki-laki. Namun, dalam konteks Bali, pernikahan tidak dapat dilepaskan dari adat istiadat yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Meski menjadi pukulan besar terhadap hakikat perempuan Bali, namun tidak sedikit yang masih menghormati dan menjalani tradisi ini dengan penuh keyakinan.

Keturunan Laki-Laki

Dalam budaya patriarki tentunya anak laki-laki sangat diharapkan kehadirannya ditengah keluarga. Hal ini tidak lepas karena laki-laki akan menjadi sosok sentral dalam organisasi sosial. Perempuan Bali dituntut untuk bisa memberikan anak laki-laki yang nantinya menjadi penerus keluarga. “Anak lelaki mendapat keistimewaan (privilege) dalam keluarga adat Bali khususnya dalam pewarisan konon karena kapasitas-kapasitas yang dijalani di dalam relasi keluarga dan sosialnya” (Mantra, 2011) dalam Bale Bengong. 

Melihat kutipan ini mengapa hanya perempuan yang dituntut untuk melahirkan anak laki-laki? Bukankah masalah keturunan adalah tanggung jawab suami dan istri? Mengapa hanya perempuan yang disalahkan jika tidak bisa memberikan anak laki-laki? Tidak mengelak atas pertanyaan ini bahwa sejatinya perkara anak adalah tanggung jawab suami istri, namun hal ini tidak lantas menggembur stigma yang sudah melekat dimasyarakat bagaimana budaya patriarki ini masuk ke setiap aspek kehidupan. Perbedaan gender yang terjadi membuka celah munculnya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline