Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara di Indonesia. Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif PPN, dari 10% sebelum tahun 2000an kemudian 11% dan sekarang menjadi 12% yang akan berlaku 1 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendanai berbagai program pembangunan, terutama pasca pandemi COVID-19. Namun, kenaikan tarif PPN ini menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap masyarakat, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Dalam artikel ini, kita akan menganalisis kebijakan kenaikan PPN 12% tersebut dengan menggunakan dua perspektif filsuf serta ekonom yang paling berpengaruh yaitu John Rawls dan Amartya Sen.
Kenaikan PPN di Indonesia: Konteks dan Dampaknya
PPN iyalah pajak konsumsi yang dikenakan atas barang dan jasa yang dijual di pasar. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk menambah pendapatan negara yang terdampak oleh krisis ekonomi global dan pandemi COVID-19. Meskipun bertujuan untuk memperkuat fiskal negara, kebijakan ini dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah. Barang-barang konsumsi sehari-hari yang dikenakan PPN 12% tentu akan menjadi lebih mahal, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas hidup banyak orang.
Dampak yang paling nyata dari kenaikan PPN iyalah pada harga barang dan jasa. Masyarakat dengan pendapatan rendah akan merasakan dampak langsung dari harga barang yang lebih tinggi. Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebijakan yang dapat menyeimbangkan dampak tersebut, baik melalui redistribusi pendapatan ataupun peningkatan kualitas layanan sosial bagi masyarakat.
Perspektif John Rawls: Keadilan Sosial dalam Kenaikan PPN
John Rawls, dalam karya monumental A Theory of Justice (1971), mengemukakan teori keadilan yang berbasis pada dua prinsip dasar. Prinsip pertama adalah prinsip kebebasan, yang menyatakan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan dasar yang setara. Prinsip kedua adalah prinsip perbedaan, yang menyatakan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika ketidaksetaraan tersebut memberikan keuntungan bagi mereka yang paling tidak beruntung (the difference principle).
Dari sudut pandang Rawlsian, kebijakan kenaikan PPN dapat dianalisis berdasarkan apakah kebijakan tersebut memperburuk ketidaksetaraan ataukah justru memberikan manfaat bagi mereka yang paling tidak beruntung. Apakah kebijakan ini sesuai dengan prinsip keadilan distributif, di mana setiap orang, terutama yang miskin dan marginal, mendapatkan akses yang adil terhadap kesejahteraan sosial?
Prinsip Kebebasan
Menurut Rawls, kebebasan setiap individu harus dihormati, dan kebijakan yang diterapkan tidak boleh mengurangi kebebasan dasar mereka. Dalam konteks kenaikan PPN, kebijakan ini dapat memengaruhi kebebasan masyarakat dalam memilih barang dan jasa yang mereka konsumsi. Bagi masyarakat berpendapatan rendah, kenaikan PPN akan memaksa mereka untuk mengurangi pengeluaran untuk barang dan jasa yang mereka butuhkan, seperti makanan dan perawatan kesehatan. Hal ini dapat mengurangi kualitas hidup mereka dan membatasi pilihan konsumsi mereka, yang bertentangan dengan prinsip kebebasan Rawls.
Prinsip Perbedaan
Prinsip perbedaan Rawls menyatakan bahwa ketidaksetaraan ekonomi hanya sah jika memberikan keuntungan bagi mereka yang paling tidak beruntung. Kenaikan PPN, yang mengarah pada peningkatan harga barang dan jasa, cenderung memberatkan masyarakat berpendapatan rendah yang tidak mampu menyesuaikan pengeluaran mereka. Dalam hal ini, kebijakan kenaikan PPN tidak memenuhi prinsip perbedaan, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kebijakan ini akan menguntungkan kelompok yang paling tidak beruntung. Untuk itu, kebijakan redistribusi yang efektif, seperti pemberian subsidi atau bantuan langsung tunai, perlu dipertimbangkan untuk mengimbangi dampak negatifnya terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan.