Ah, permainan uang, benar-benar inovasi terbaik bangsa ini dalam "memodernisasi" demokrasi. Mengapa susah-susah berdebat visi-misi atau berjuang untuk ideologi? Bukankah lebih efisien menawarkan sogokan yang lebih praktis dan langsung terasa? Tidak perlu repot meraih simpati rakyat dengan kerja keras, cukup hitung suara dengan nominal. Harga suara ternyata lebih murah dari kopi di kedai jalanan---sebuah transaksi sempurna yang bahkan ekonom paling jenius pun tak sanggup menyainginya. Demokrasi kita tidak lagi tentang keadilan, melainkan efisiensi: siapa yang punya uang, dialah pemenangnya.
Rakyat Miskin: Dibeli Murah, Dijual Lebih Murah
Bagi rakyat miskin, politik uang merupakan refleksi paling menyakitkan dari ketidakadilan struktural. Suara mereka bukanlah alat perubahan, melainkan aset murahan yang diperdagangkan. Dengan secuil uang tunai, mereka disuruh melupakan hak untuk masa depan yang lebih baik. Ironis, bukan? Slogan kampanye penuh harapan hanya menjadi pemanis bibir, sementara rakyat terjebak dalam lingkaran utang moral dan kemiskinan. Dengan pilihan sebatas "makan hari ini atau tetap lapar," mereka menyerahkan masa depan bangsa pada para politisi yang bahkan tak tahu bagaimana menulis kata "keadilan" dengan benar.
Janji Manis Politisi: Dari Uang Rakyat untuk Kepentingan Elite
Politisi yang terpilih lewat politik uang? Jangan harap mereka memikirkan kesejahteraan rakyat. Prioritas pertama mereka adalah mengembalikan modal kampanye---tentu saja, melalui kontrak-kontrak tambun dan proyek tak jelas. Jangan salah, rakyat bukan bagian dari prioritas mereka; rakyat hanyalah alat untuk menduduki kursi kekuasaan. Kepentingan elite dan pemodal besar adalah panglima sejati. Demokrasi yang ideal adalah omong kosong bagi mereka; apa yang nyata adalah uang yang mengalir ke kantong pribadi dan kroni.
Demokrasi dalam Komedi Gelap: Ilusi Pilihan, Realitas Transaksi
Mari akui saja: demokrasi kita adalah teater. Rakyat diberi ilusi bahwa mereka memiliki kekuatan, tetapi kenyataannya, suara mereka tak lebih dari alat tawar-menawar. Kita memuja demokrasi seolah-olah itu suci, padahal isinya adalah permainan uang. "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat"? Tidak, lebih tepatnya "Dari uang, oleh uang, untuk uang." Dan mereka yang masih percaya suara rakyat menentukan masa depan? Mereka hidup dalam dongeng yang sudah lama basi.
Kesimpulan: Menggugat Demokrasi Uang
Jika ini adalah demokrasi, maka kita telah gagal memahami arti sebenarnya. Sistem ini adalah penghinaan terhadap prinsip-prinsip luhur yang pernah diperjuangkan. Selama suara rakyat bisa dibeli dengan segepok uang, kita hanya akan menyaksikan demokrasi palsu di mana rakyat menjadi korban permanen. Jadi, mari teruskan tradisi ini---demokrasi sebagai lelucon terbesar abad ini. Semoga kita puas dengan hasilnya. Atau, mungkin tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H