Lihat ke Halaman Asli

Igoendonesia

TERVERIFIKASI

Catatan Seorang Petualang

Belajar dari Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug: Kearifan Lokal untuk Keberlanjutan Lingkungan

Diperbarui: 28 Januari 2024   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawasan Gunung Halimun tempat Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug (Dok: Wikipedia)

Kurang lebih setahun, pada 2004-2005, saya turut membersamai komunitas masyarakat adat di Kampung Lebak Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Lebak, Banten. Saat itu, saya menjadi fasilitator lapang Rimbawan Muda Indonesia (RMI) - The Indonesia Institute for Forest and Environment, sekaligus menyelesaikan skripsi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sebagai bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul, mereka masih mempertahankan adat-istiadat warisan leluhur yang mewarnai setiap sendi kehidupan, termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug berada di tengah hutan rimba, lokasinya cukup terisolir. Saat itu, untuk sampai lokasi, dari desa terdekat yang bisa dijangkau dengan kendaraan, perjalanan harus dilanjutkan berjalan kaki melewati sawah, ladang juga hutan sekira 4-5 jam.

Secara administratif, Kampung Lebak Cibedug merupakan enclave yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Oleh karena itu, pemukiman mereka dikelilingi hutan sehingga kehidupan mereka tak bisa lepas dari alam yang ada di sekitarnya.

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug masih memegang teguh ada istiadat sebagai kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sistem pengelolaan yang diterapkan berdasar pada prinsip kelestarian dan keberlanjutan atau sustainable yang sesuai trend gaya hidup masa kini. Hal itu, sebenarnya sangat relevan diterapkan di era modern dengan gaya hidup yang selaras alam.

Salah satu contoh, dalam manajemen tata ruang dan wilayah, Masyarakat Cibedug mempunyai petuah leluhur yang digunakan sebagai pedoman, yaitu, : "Gunung Kayuan, Lamping Awian, Pasir Talunan, Lebak Sawahan, Legok Balongan, Datar Imahan". Filosofi adat ini, mengajurkan kepada segenap warga kasepuhan untuk melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan didasarkan pada kontur dan tingkat kemiringan tanah.

Kita bedah satu per satu, dimulai dari Gunung Kayuan, bermakna gunung sebagai wilayah yang mempunyai kelerengen paling curam dan rawan longsor, tanamilah dengan aneka ragam kayu. Tanaman keras yang berakar kuat dan dalam secara ilmiah sangat baik untuk konservasi. Kumpulan tanaman keras akan membentuk sebuah ekosistem yang baik sebagai daerah penyangga air (buffer zone) dan menjaga keanekaragaman hayati.

Lamping Awian yaitu lahan-lahan lamping (tebing) yang curam disarankan untuk ditanami awi atau bambu. Bambu dikenal sebagai tanaman yang perakarannya kuat sehingga dapat menahan longsor. Bambu juga baik untuk menampung air dan pemanfaatannya luas untuk kebutuhan perkakas maupun papan.

Pasir Talunan, berarti wilayah berbukit bisa dimanfaatkan dengan talun yang merupakan sistem pengelolaan tanah dengan menanami aneka tanaman keras penghasil buah dan kayu (kebun campur). Talun akan menjadi penyuplai kebutuhan pangan juga papan.

Selain itu, talun menyediakan kayu bakar sebagai sumber energi biomasa untuk kebutuhan memasak di dapur, membuat gula kelapa dan lainnya. Dengan pengelolaan alam yang lestari, kayu bakar akan terus tersedia sehingga pemanfaatan energi berkelanjutan.

Persawahan di Kampung Lebak Cibedug (Dok: RMI)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline