Lihat ke Halaman Asli

Igoendonesia

TERVERIFIKASI

Catatan Seorang Petualang

Ahok dan Tempatnya Bagi Orang Netral

Diperbarui: 13 Desember 2016   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambaran Neraka (www.merdeka.com)

”Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap netral disaat krisis moral terjadi. Dalam masa berbahaya, tidak ada dosa yang lebih besar daripada tetap diam...”(Dante Alighieri, Inferno)

Netral, sikap diam, tidak berbuat apa-apa, tidak memihak, berpangku tangan bukanlah solusi. Mereka, kaum pencari aman yang berdiri dalam area abu-abu inilah yang menurut Dante dalam puisinya berjudul Inferno yang dibuat pada abad ke 13, layak berada dalam neraka paling laknat.

Ada benarnya, menjadi netral memang berat dan sekali lagi memanglah bukanlah sebuah solusi.

Saya berpikir kutipan filsuf abad pertengahan itu cocok dengan situasi politik dan sosial saat ini. Politik makin licik, intoleransi dan gontok-gontokan antar golongan makin merajalela, moralitas bangsa makin jatuh, diskriminasi menjamur, korupsi mengakar, hukum jadi mainan. Inilah krisis moral itu dan saat kondisi seperti saat ini masih pantaskah kita netral? Masih relevankah jika kita hanya berdiam diri, cari aman?

Ah, bahkan, ’neraka’ bagi orang netral sudah hadir di dunia ini, wabilkhusus di Indonesia. Dalam kondisi yang menuntut hitam putih, segalanya menjadi tidak benar bagi mereka yang berada di area abu-abu. Bahkan, hanya berusaha menjadi objektif pun salah.

Salah satu contoh terkini adalah dalam kasus Anti Ahok vs Ahoker.

Bagi kaum Anti Ahok dan menganggap Cagub DKI itu menista Al Quran ya sudah seharusnya ikut, minimal mendukung aksi bela Islam 411 dan 212, menganggap tindakan intoleran di Sabuga Bandung adalah soal kecil dan hanya pengalihan isu, ikut boikot makan Sari Roti dan mereka yang berseberangan adalah sekuler, liberal, abangan bahkan kafir.

Kaum ini bahkan mencaci tokoh sekaliber Buya Syafii Maarif dan Gus Mus yang mencoba berpendapat objektif. Ambil contoh, Buya yang dalam sebuah kesempatan diskusi di televisi menilai Ahok tak berniat menista Agama, langsung dicap berseberangan bahkan meski sudah dijelaskan bahwa beliau kerap mengkritik Ahok yang kurang menjaga lisannya tetapi soal menista Al-Quran dan Agama disitulah beliau tak sepaham.

Dan ini yang paling ekstrim, aneh tapi nyata, ada kawan saya perempuan dicap kafir dan diragukan sholatnya oleh kawan perempuannya sendiri hanya karena dia mendukung Ahok, suka dengan Ahok. Padahal, dia berjilbab, rajin sholat dan baik dalam hubungan dengan sesama manusia. Wuheladalah...

Lalu, bagi yang mendukung Ahok alias Ahokers ya menilai kaum diseberang sana dibutakan fanatisme sempit, puritan, intoleran, tidak menghormati kebhinekaan bahkan mencap bahwa mereka bagian dari kelompok teroris dan berbahaya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kaum yang ini, sekalipun aksi 212 berlangsung sukses dan damai, meskipun tokoh sekaliber AA Gym dan Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa ini soal agama dan panggilan iman, bukan soal politik tetap menganggap sebagai tindakan yang intoleran. Bahkan, gerakan subuh berjamaah 1212 pun dikritik sebagai aksi politik alih-alih tindakan untuk menyuburkan semangat keagamaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline