Barangkali saya salah satu dari sekian banyak orang yang berpikir demikian. Tidak mengeneralisir, tetapi beberapa tempo ke belakang tampaknya terasa sekali aroma kebencian. Mungkin tanggal 4 November 2016 menjadi saksi bahwa sebuah peribahasa Latin yang pernah dicetuskan Plautus pada 195 SM benar adanya. Homo Homini Lupus, Manusia menjadi serigala bagi sesamanya.
Kasus Ahok yang kemudian menjadi booming seakan mau menyeret kesadaran masyarakat pada intepretasi cermin. Sebut saja cermin karena di satu sisi hal ini adalah sebuah realita, namun di sisi lain saya melihatnya sebagai sebuah ilusi. Sebuah realita bahwa seorang Gubernur DKI 'tertuduh' melakukan penistaan dan menjadi sebuah ilusi ketika timbul pertanyaan bahwa aksi 04 11 2016 memiliki agenda dan atau kepentingan di belakangnya?
Tidak berpikir terlalu dalam, saya sedikit bertanya dalam hati, apakah manusia saat ini telah dibutakan dengan arus globalisasi di mana sebuah pesan dengan cepat tersebar dan kemudian menjadi "pelita" dalam kegelapan sesat pikir? Elihu Katz dalam bukunya, "The Diffusion of New Ideas and Practices" menunjukkan bahwa media memiliki kekuatan yang luar biasa. Masyarakat dianggap seperti atom-atom yang terpisah dan hanya berhubungan dengan media. Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini di mana media sosial menjadi trend di mana hampir setiap orang tidak pasti tidak memilikinya?
Esensi sebuah media dalam Hypodermic Needle Theory adalah media memiliki efek yang kuat, langsung, terarah, dan segera dalam mereduksi pemikiran si penerima pesan atau receiver. Kasus Ahok yang hangat belakangan ini saya kira menjadi sebuah problematika dalam ranah toleransi keberagaman. Komunikasi menjadi penting di kala situasi sedang bergenting. Yang terjadi justru masyarakat yang dirasa cerdas menerima informasi, begitu cepat tersulut oleh opini beberapa pihak, yang kemudian kita sebut sebagai opinion leader.
Perbedaan latar belakang, entah itu budaya, agama, pendidikan, dan lain-lain, saya rasa menjadi faktor penentu seseorang terbawa arus pemikiran opinion leader. Efeknya adalah meluasnya ranah individu, dalam hal ini agama, masuk menjadi ranah komunal atau publik. Perlu disadari bahwa hal ini menjadi sebuah peringatan - kalau boleh mengatakan adalah sebuah ancaman - bagi penganut kedamaian ketika sebuah pesan berbau kebencian diinterpretasikan sedemikian rupa oleh opinion leader yang kemudian menyulutkan api amarah publik. Saya menyebut publik karena tidak semua orang yang tersulut api amarahnya.
Realita yang terjadi tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama dengan beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama sebagai dalih membenci orang lain. Saya sebagai penganut teori uses and gratification yang bertolak belakang dengan teori yang saya sebutkan sebelumnya, masih menganggap bahwa masyarakat memiliki kemampuan dalam mencari, menggunakan, dan memberi tanggapan terhadap isi media yang memang pada dasarnya memiliki agenda tersendiri, kita sebut sebagai agenda setting.
Ketika saya cermati, sebagian orang yang tidak serta merta menerima pemberitaan media massa akan berpikir dua kali untuk menyatakan pendapat atau perspektifnya pribadi. Kecenderungan ini akan mengarah pada kesadaran akan pentingnya toleransi, dalam kasus ini adalah toleransi beragama. Beruntung, masih banyak kaum mayoritas yang tetap melihat kasus ini dalam kacamata humanis ketimbang memperjuangkan ego yang belum tentu benar adanya.
Apa itu Kebenaran? Bagi saya, banyak orang yang menganggap bahwa dirinya benar atau dirinya paling benar adalah tidak lain merupakan representatif diri dengan sebuah paradigma yang dibangun atas pemikirannya secara personal. Bagaimana mungkin Tuhan, yang tidak terlihat, terpenjara dalam pemikiran manusia yang terbatas? Bagaimana mungkin kebenaran yang merupakan bagian dari "proses mencari" manusia disertakan dalam sebuah konklusi? Rasanya tidak pas ketika kebenaran menjadi alat untuk sebuah perdebatan tidak berujung tentang agama.
Menengok judul di atas, rasanya kedamaian menjadi mahal ketika negeri ini dikuasai oleh kepentingan-kepentingan opinion leader tertentu yang mengorbankan masyarakat - bukan bermaksud mendiskreditkan - yang mudah tersulut api amarahnya. Saya rasa kelompok-kelompok opinion leader semacam ini adalah mereka yang menitikberatkan media sebagai jarum yang sangat ampuh untuk mengerahkan massa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kita tidak akan lagi merasakan hal yang sama ketika seorang Gus Dur berjabat tangan dengan Paus Yohanes Paulus II, ketika dua orang ustad menolong biarawati yang menjadi viral di media sosial, atau ketika kita merasakan sakralnya acara Galungan di Bali? Semua kembali kepada Anda yang menentukan, apakah mengiyakan peribahasa di atas, Homo Homini Lupus, atau menginginkan peribahasa lain yang dicetuskan Seneca, Homo Homini Socius (Manusia menjadi sahabat bagi manusia yang lain)?
Semoga damai selalu menyelimuti negeri ini.