"If he scores another few,
Then I'll be Muslim too...
If he's good enough for you,
He's good enough for me,
Then sitting in a mosque, is where I wanna be
Mo Salah-la-la-la-lah! Mo Salah-la-la-la-lah!"
Lirik chant di atas dan yang sejenisnya mulai sering diperdengarkan terutama ketika Mohammad Salah menunjukkan kepiawaiannya mengolah si kulit bundar. Chant yang berasal dari Bahasa Latin, cantare yang berarti 'menyanyikan', memang menarik untuk disimak lebih mendalam karena seringkali terdapat pesan-pesan tertentu dalam lirik tersebut. Lirik yang ditujukan untuk Mohammad Salah (sering juga disebut dengan nama Mo Salah) pun demikian. Para liverpudlian mulai menunjukkan beberapa lirik yang dipersembahkan bagi idola mereka dari Negeri Piramid tersebut.
Mo Salah, yang mengawali aktivitas sepakbolanya di tanah kelahirannya, akhirnya memutuskan untuk merantau ke Benua Biru dalam menjejaki langkahnya untuk menjadi pemain sepakbola profesional. Berdasarkan data dari transfermarkt.com, pada tanggal 1 Juli 2012 Mo Salah memulai karir profesionalnya di Eropa dengan bergabung pada klub elit dari Swiss, yaitu FC Basel. Kepindahan ini adalah langkah awal bagi Mo Salah untuk berkarir di Negara lain, setelah beberapa waktu sebelumnya dia menimba ilmu di klub lokal yaitu Arab Contractors SC.
Pilihan untuk berkompetisi di Benua Biru bukanlah pilihan yang keliru karena pada akhirnya, sekitar dua tahun kemudian, Mo Salah pindah ke salah satu klub elit Eropa yaitu Chelsea FC dengan harga 16,5 juta Euro. Selama menjadi pemain The Blues, Mo Salah harus bermain untuk beberapa klub lain dengan status pinjaman, yaitu untuk La Viola Fiorentina (dari Februari 2015 sampai dengan Juni 2015), kemudian bermain untuk Il Lupi AS Roma (Agustus 2015 sampai dengan Juli 2016).
Pengembaraan Mo Salah sebagai pemain pinjaman pun berkahir ketika AS Roma memutuskan untuk mempermanenkan dirinya pada tahun 2016. Satu tahun di kota Roma, akhirnya Mo Salah kembali ke Liga Inggris pada tahun 2017 ketika The Reds memutuskan untuk memboyong dirinya. Klub Liverpool pada saat itu memang sedang berusaha membangun kembali skuad mereka untuk bisa berprestasi baik di kompetisi domestik maupun kompetisi Eropa.
Keberadaan Mo Salah di kota Liverpool mulai menarik perhatian para penggemar. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Mo Salah memiliki keahlian dalam mengolah si kulit bundar yang tidak kalah mentereng jika dibandingkan dengan pesepakbola top Eropa lainnya. Seiring dengan konsistensi pencapaian klub, bahkan pencapaian tertinggi di Kompetisi Eropa, membuat sosok Mo Salah semakin digemari banyak orang. Bahkan, identitas Mo Salah sebagai salah satu pemain sepakbola beragama Islam yang bermain di Eropa mulai menjadi sesuatu hal yang menarik untuk diteliti terutama karena munculnya konsep Islamophobia.
Islamophobia memang sedang marak terjadi di beberapa Negara pada tahun-tahun terakhir ini. Mohideen dan Mohideen (2008) dalam tulisannya yang berjudul "The Language of Islamophobia in Internet Articles" mendefinisikan Islamophobia sebagai suatu praktik prasangka melawan Islam. Islamophobia ini semakin memuncak di Negara-negara Eropa (termasuk Inggris), setelah tragedi World Trade Centre di Amerika Seriat pada tahun 2001. Popularitas Mo Salah sebagai pemain sepakbola ternama di Eropa yang beragama Islam dan konsep Islamophobia yang muncul di beberapa Negara termasuk Negara Eropa, menarik minat beberapa orang untuk melakukan penelitian, seperti yang sedang viral akhir-akhir ini di jagat maya.
Beberapa peneliti dari Stanford University dan Eidgenssische Technische Hochschule Zrich (Ala' Alrababa'h, William Marble, Salma Mousa, dan Alexandra Siegel) melakukan penelitian mengenai dampak popularitas Mo Salah dan Islamophobia. Proposisi yang mereka ajukan dalam penelitian ini adalah meningkatnya performa Mo Salah dapat mengurangi Islamophobia pada pendukung klub sepakbola Liverpool.
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa teknik analisis data, yaitu yang pertama, para peneliti menganalisis data kejadian criminal yang berdasarkan pada kebencian (hate crimes) yang terjadi di Inggris dari Januari 2015 (periode sebelum kedatangan Mo Salah) sampai dengan April 2018. Teknik analisis yang kedua adalah dengan melakukan analisis atas 15 juta kicauan (tweets) dari suporter sepakbola di Inggris pada periode sebelum dan sesudah kehadiran Mo Salah di Liverpool.
Teknik analisis terakhir adalah dengan melakukan survei kepada sekitar 8.060 Liverpudlian di Inggris. Dari ketiga teknik analisis tersebut, para peneliti dari Stanford University dan Eidgenssische Technische Hochschule Zrich menyimpulkan bahwa kehadiran Mo Salah dapat mengurangi tingkat Islamophobia bagi para pendukung klub Liverpool di Inggris.
Hal ini menunjukkan bahwa suatu prasangka buruk terhadap kelompok lain dapat dikurangi seiring dengan munculnya figur publik yang merepresentasikan kelompok tertentu. William Hazlitt pernah menyampaikan suatu kalimat yang menarik: prejudice is the child of ignorance. Suatu prasangka muncul dari suatu ketidaktahuan. Ketika banyak orang mulai melihat Mo Salah dengan segala pencapaian dan perilaku baiknya (Mo salah juga dikenal sangat dermawan), maka banyak orang mulai terbuka pikirannya dan Islamophobia pun semakin berkurang. Inilah yang seharusnya terjadi. Kehidupan di bumi yang penuh dengan kedamaian.