[caption caption="Rumah Adat Suku Sakai (Sumber: koleksi pribadi)"][/caption]Ada yang menarik ketika saya kemarin mengunjungi Provinsi Riau. Sebenarnya, saya datang ke sana untuk melihat peresmian rumah adat Suku Sakai, di Desa Kesumbo Ampai, Kabupaten Bengkalis (19/1). Usai acara peresmian rumah adat Suku Sakai, terpikir oleh saya untuk menggali cerita dan melihat lebih dekat masyarakat yang tinggal di lahan-lahan hutan konsesi milik perusahaan yang berada Provinsi Riau. Perlu diketahui, di wilayah Provinsi Riau, sepanjang mata memandang banyak sekali tanaman sawit dan hutan tanaman industri seperti pohon Eucalyptus dan pohon Akasia yang tinggi jenjang. Apalagi belum lama ini terjadi bencana nasional kebakaran hutan, maka saya pikir akan lebih menarik untuk menggali cerita dari masyarakat yang tinggal di hutan-hutan konsesi ini dan terpapar asap pada kebakaran hutan yang lalu.
Lalu saya mencari perusahaan-perusahaan yang saya jadikan target. Tujuan saya saat itu adalah PT Arara Abadi, salah satu anak perusahaan Sinar Mas yang tergabung dengan APP - Sinarmas Agroforestry. Untuk mencapai ke area PT Arara Abadi, saya harus menempuh jarak sekitar 200-an kilometer lalu menempuh perjalanan 4 jam dengan mobil. Perjalanan terasa jauh. Suku Sakai memang berada di Kabupaten Bengkalis, sementara hutan-hutan tanaman industri banyak berada di Kabupaten Siak. Namun jarak yang jauh bukan jadi penghalang untuk memulai sebuah cerita, ya kan?
Setelah perjalanan yang lumayan melelahkan, saya lalu menemui pihak perusahaan. Saya mengemukakan maksud dan tujuan saya kepada pihak perusahaan untuk menemui masyarakat yang berada di dalam areal konsesi perusahaan. Rupanya saya diperbolehkan dan diizinkan untuk melihat langsung masyarakat yang tinggal dan berada di dalam lahan hutan konsesi mereka. Saya lalu dibawa masuk ke dalam lahan konsesi HPHTI (Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri) PT Arara Abadi, letaknya di Distrik Rasau Kuning, Desa Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.
Awalnya saya membayangkan bahwa areal Hutan ini hanya berisi pepohonan Akasia atau Eucalyptus saja. Karena sejauh mata memandang, memang pohon-pohon berkarakter langsing semampai ini yang menjadi santapan mata saya. Namun setelah 15 menit berjalan dengan mobil dari gerbang utama, saya menemukan areal yang di dalamnya terdapat lahan-lahan yang diolah menjadi lahan pertanian. Tanaman yang ditanam pun bermacam-macam, ada tanaman sayur bayam, kangkung, kacang panjang, pepaya madu, melon, duren dan karet. Rata-rata tanaman semusim.
[caption caption="Pohon Akasia, Jenjang Menjulang (Sumber: koleksi pribadi)"]
[/caption]
770 Hektar yang Diperuntukkan Tanaman Kehidupan
Saya bertemu dengan Suryono, salah seorang masyarakat yang sudah tinggal di Desa ini selama 15 tahun. Ia adalah ketua kelompok Tani Jaya, kelompok tani yang berjumlah 18 orang. Menurutnya, kelompok taninya bergerak di perkebunan dan pertanian. Pak Suryono sendiri, selain menjadi petani, ia juga menjadi pedagang. Saban panen, ia pasti akan menjajakan hasil tanamannya ke pasar.
Pertemuan saya akhirnya menghasilkan sebuah diskusi hangat. Sesuatu yang jarang saya dapati di ibukota. Menurutnya, pada awalnya sempat terjadi konflik antara petani dan perusahaan. Konflik tersebut lantaran masyarakat merasa bahwa mereka sulit mendapat manfaat langsung dari hutan akasia yang ditanami oleh perusahaan. Konflik itu bermuara pada tuntutan masyarakat agar bisa memanfaatkan lahan-lahan tidur yang belum dimanfaatkan perusahaan. Akhirnya, pada tahun 2011 terciptalah kesepakatan antara para petani dan perusahaan dalam sebuah MoU tentang tanaman kehidupan.
Ada 770 hektar lahan yang diberikan perusahaan untuk dimanfaatkan para petani dan masyarakat untuk ditanami tanaman kehidupan. Tak berhenti di sana, Suryono dan para petani lain diberikan pelatihan dan pembinaan terutama tentang sistem bercocok tanam dan teknis lain tentang pertanian. Selain itu, Suryono juga dipinjamkan modal uang untuk pembelian bibit, pupuk, media tanam dan lainnya. Contohnya, kelompoknya diberikan modal sebesar Rp 4.100.000 untuk menanam melon. Dari modal ini, petani bisa mendapat keuntungan kira-kira sampai Rp 15 juta setelah menunggu Melon panen selama 65-70 hari. Suryono cukup beruntung ia memiliki kecakapan dalam berdagang sehingga ia tak kesulitan dalam mendapatkan pasarnya. Namun, ia mengatakan bahwa ternyata petani yang tidak punya kecakapan berdagang yang seperti dirinya juga diberikan semacam kemudahan karena perusahaan bersedia untuk menjualkan hasil-hasil tanaman tersebut dan uang penjualannya diberikan kepada para petani.
Lahan Pak Suryono ini pun sangat menarik. Ia sendiri mengelola sekitar 2 hektar, yang ia tanami berbagai macam tanaman seperti yang telah saya sebutkan di atas. Di tanah seluas 2 hektar tersebut, kanan kirinya dibatasi oleh hutan akasia, tanaman sawit, hutan konservasi dan kebun karet. Ya. Tanah yang difungsikan kembali oleh Suryono ini sebenarnya dulunya adalah lahan-lahan bekas kebun sawit yang sudah berumur 7 tahun. Namun setelah melakukan kalkulasi, hasil yang dihasilkan tanaman sawit ternyata sama sekali tidak menguntungkan. Justru tanaman-tanaman holtikulturalah yang memberi keuntungan paling banyak. Sehingga, Suryono dengan segera membersihkan tanaman sawit tersebut dan mengubahnya menjadi lahan untuk tanaman kehidupan.
[caption caption="Melon: Salah satu primadona wanatani di distrik Rasau Kuning, Siak (Sumber: koleksi pribadi)"]
[/caption]