Lihat ke Halaman Asli

Ignasia Dyah M P

Bachelor of Communication Science

News Aggregator sebagai Wajah Jurnalisme Masa Depan

Diperbarui: 1 Maret 2021   10:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi News Aggregator (Sumber: lifewire.com)

Ketika kita berbicara mengenai masa depan, kita pasti berpikir tentang apa yang akan terjadi. Begitu pula dengan jurnalisme, apa yang akan terjadi dengan jurnalisme di masa depan?

Dengan adanya perkembangan teknologi digital, informasi dan komunikasi yang semakin maju dari tahun ke tahun, hal ini juga turut berpengaruh pada dunia jurnalisme. Internet yang menjadi salah satunya. Internet memungkinkan penyebaran informasi dan komunikasi menjadi lebih cepat dalam memperluas jangkauan penyebarannya dan juga menjadi fasilitas interaksi serta kolaborasi berbagai media.

Jurnalisme di masa depan tidak lagi menuntut untuk hanya sekedar menyusun sebuah berita berbasis teks saja, namun jurnalisme masa depan menuntut agar penyusunan sebuah berita harus dilengkapi dengan adanya audio, visual, animasi maupun hyperlink. Sehingga hadirlah News Aggregator sebagai tempat pengumpulan berita dari laman lain tetapi tidak diolah kembali.

Contoh News Aggregator (Sumber: thompsoncoburn.com)

News Aggregator

Hidayat (2019) melalui beritasatu.com mendefinisikan news aggregator sebagai sebuah media atau aplikasi pengumpul berita dari berbagai situs agar mempermudah dan mepercepat upaya pengguna sehingga tidak membuang waktu lama untuk mengakses berita melalui beragam website.

News aggregator sendiri memiliki fungsi untuk menekankan masyarakat supaya lebih mudah dan cepat untuk mencari sebuah informasi dengan adanya perkembangan teknologi dan machine learning. 

Perkembangan news aggregator yang begitu cepat sebagai media masyarakat dalam memperoleh berita, juga turut merubah perilaku masyarakat salam memperoleh informasi.

Startup News Aggregator (Sumber andromedia.co.id)

Penggunaan News Aggregator di Indonesia

Sejak tahun 2002, banyak penerbitan di Indonesia yang terpakasa gulung tikar, hingga menyentuh angka munus 59%. Prihastomo (2019) melalui nextren menyebutkan dari total 1.254 penerbitan pada tahun 2013, hanya tersisa 850 penerbitan di tahun 2017.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline