Berita-berita di seputar N-219 saat ini dengan jelas menunjukan bahwa pesawat ini dirancang dari sudut pola pikir pragmatisme, sementara N250 (dan N2130) dirancang sebagai media untuk unjuk kemampuan. Saya termasuk yang kecewa ketika N-250 dipeti eskan atas saran IMF, namun tidak terkejut mengingat banyaknya kabar buruk yang memang bukan konsumsi media massa saat itu. (N250 dalam Kacamata Teknologi Nasional)
Terus terang saya tidak heran dengan kutipan para senior PT DI saat ini mengenai julukan pesawat terbang mainan ke N-219 yang dilontrakan oleh para penggerak proyek N250. Namun setidaknya, N219 tampaknya lebih memperhatikan aspek sertifikasi dibandingkan dengan N250 pada tahap serupa.
Dilihat dari spesifikasinya, N219 pada dasarnya adalah pesawat terbang regional kecil dan angkut serba guna. Kegunanaan terbesar pasar ini tentu saja adalah penerbangan perintis yang memakai landas pacu yang pendek dan kurang mulus. Yang menarik untuk diingat, semua pesawat regional baik sekelas N250 maupun N219 haruslah mematuhi sertifikasi FAA bab 23. Sertifikasi ini sangat berpengaruh secara internasional karena menjadi rujukan bagi autoritas di banyak negara lain, termasuk Indonesia. (Bahkan autoritas Eropa yang selalu melihat dirinnya setara dengan FAA juga memasukan pesawat regional ke regulasi bab 23!)
Yang belum berubah dari 22 tahun yang lalu adalah minimnya informasi teknis PTDI terhadap bayi terbarunya. (Media massa pun rasanya sekedar membeo dengan melaporkan pesawat ini memakai "teknologi terbaru dikelasnya"). Pada tahap ini Airbus dan Boeing bisanya sudah melaporkan kegiatan uji struktur, paling tidak dengan memperlihatkan seberapa jauh sayap pesawat terbang dapat dilengkungkan dalam uji statis sebelum akhirnya rusak. Yang juga tidak banyak dikutip di media Indonesia adalah pasar yang ditarget N219 memang saat ini cukup padat.
Komentar situasi pasar yang dilontarkan oleh majalah industri penerbangan terkemuka Aviation Week inilah yang sangat menggelitik saya. Ketika N25o diluncurkan Flight International yang disegani di Eropa memfokuskan pada kemampuan terbang pesawat dan keberanian Indonesia memasuki dunia industri penerbangan. Sementara itu Aviation Week yang berpengaruh di AS menyorot N250 secara lebih pesimistis karena situasi pasar yang ditarget tidaklah besar.
Bagaimana dengan pasar N219. Dalam sektor penerbangan perintis, peswat terbang memang tidak lebih daripada truk pick-up bersayap. Oleh karena itu saya setuju dengan semua komentar PT DI mengenai pilihan mesin yang tidak canggih (PT6A-42 yang dipakai N219 berasal dari PT6 yang didesign di akhir tahun 1950-an) namun memiliki jaringgan purna jual yang bagus, maupun pengunaan Garmin G1000 sebagai sistem avionik yang tinggal dibeli dari pasar dan tidak perlu dipesan secara khusus. Begitu pula dengan roda pendarat yang terpasang mati (tidak dapat ditarik ke badan pesawat terbang).
Operator di sektor ini mengahrapkan pesawat terbang yang dapat dibeli dan dijalankan dengan harga murah. Oleh karena itu tidak lah mengeherankan kalau sektor pasar ini sebenarnya didominasi oleh pesawat-pesawat tua semacam de Haviland Canada DHC-6 Twin Otter. Namun hal ini bukan berarti bahwa tidak ada peswat terbang baru di sektor ini.
Aviation Week menunjuk Viking yang baru-baru ini membeli hak cipta DHC-6 dari Bombardier (reinkarnasi akhir de Haviland Canada) dan memulai design baru yang disebut DHC-6-400. Majalah tersebut juga menunjuk RUAG yang memegang hak cipta Dornier 228 (setelah Dornier bangkrut) dan memutuskan untuk meremajakan design peswat tersebut.
Dua pemain lain yang masih memproduksi pesawat baru adalah PZL dari Polandia yang membuat M28 Skytruck dan LET dari Republik Czech yang meremejakan L-410 mereka dengan versi NG (Next Generation). Keempatnya adalah pemain yang sudah mapan. Dalam hal ini ada baiknya menambahkan pemain kelima yaitu Harbin Y-12F dari Cina yang relatif baru. Yang patut dicatat adalah kelimanya telah mengantungi sertifikasi FAA.
Disini dibutuhkan disklaimer. Data yang ada murni berasal dari apa yang tersedia di publik. Data N219 mengadalkan brosur PTDI yang saa ini belum diverivikasi dengan uji terbang. Perlu dicatat kalau PTDI masih seperti IPTN dahulu dalam melepaskan data. (Baca : agak pelit. data mutan maksimum maupun muatan bahan bakar maksimum sama sekali tidak diterbitkan).
Data Y-12F pun yang diterbitkan oleh Harbin tidak lebih baik daripada N219. Data DHC-6-400, Dornier 228 dan L410 jauh lebih baik karena brosur pemasaran ketiganya tersebar luas. Data M28 hanyalah mengandalkan Wikipedia tapi memiliki kualitas yang bagus. Perbandingan keenam pesawat terbang tersebut ada di tabel berikut: