Lihat ke Halaman Asli

ignacio himawan

ilmu terapan untuk keseharian

Wajah Kompetensi Dunia Riset Akademis Indonesia

Diperbarui: 18 Agustus 2016   09:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Belakangan ini saya sering termenung soal pilihan untuk terjun ke dunia akademik atau kembali ke dunia nyata setelah duduk di pagar perbatasan keduanya selama beberaps tahun. Pemikiran ini muncul dengan kesadaran Felowship dari the Royal Society  yang memungkinkan saya duduk di pagar memang hampir habis.

Seorang akademisi akan medapatkan kebebasan akademis yang memungkinkanya untuk berfokus pada kegiatan riset dengan Indonesia tanpa harus melanggar kode etik profesional. Pemain dunia nyata akan terikat oleh segudang profesional etika yang diikat oleh isu rahasia komersial. Indonesia memang memiliki segudang permasalahan yang menarik untuk diteliti seperti urbanisasi di Jakarta dan pulau Jawa (masalah tanggul raksasa dan reklamasi teluk Jakarta haruslah dilihat sebagai bagian kecil dari tema ini, NCICD bukanlah jawaban yang sepenuhnya.

Garuda raksasa hanyalah sekedar vanity), perkebangan teknologi dan SDM Indonesia dalam menyongsong keniscayaan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu to 10 ekonomi dunia dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama. Seperti Cina, jumlah penduduklah menyebabkan besarnya volume ekonomi, meskipun daya ekonomi setiap orang terbatas. Di lain pihak Indonesia masih belum memiliki kompetensi yang cukup tinggi, yang berarti Indonesia tidak akan dapat memaksimalkan keuntungan yang didapat dari volume ekonm i yang besar.

QS university ranking adalah salah satu tabel klasifikasi universitas yang paling subyektif yang saya kenal. Email yang tiap tahun masuk ke Inbox saya selalu penuh dengan pertayaan, menurut anda manakah univeristas yang paling anda segani dalam riset di bidang anda? Inilah QS ranking: peniliaian seornag akademisi terhadap nilai kontribusi institusi lain di bidang riset yang menjadi spesialisasi akademisi tersebut. Artinya, QS memberikan refleksi subyektif yang harus diperhitungkan. Sayangnya perguruan tinggi di Indonesia tidak pernah berada di top 100. Apakah penilaian subyektif QS ini cukup tepat ?

Seorang teman yang memang akademisi tulen (degan segudang kertas kerja dan buku teks yang telah dikaranganya) di Inggris saat ini sangat giat berusaha mengajukan proposal riset bersama dengan sebuah universitas terkemuka Indonesia dengan memanfaatkan the Newton fund, yang diciptakan oleh pemerintah Inggris untuk membina kerjasama riset akademik dengan Indonesia.

Dia kadang mengeluh bahwa pihak Indonesia seringkali kurang responsif dan terkadang kurang kompeten dalam menulis proposal. Yang patut dicatat proses ini sangat penting dalam dunia riset karena  menyangkut apa sebenarnya tujuan yang akan di capai dan bagaimana cara mencapainya. Hal ini jauh lebih kompleks (meskipun relatif lebih mudah) daripada sekedar melakukan kegiatan riset doktoral, karena menyangkut framework bagi  sejumlah riset doktoral. Kadang saya berpikir bahwa dia harus lebih lunak dalam menilai.

Baru-baru ini saya mendapat permintaan untuk mereview riset proposal dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia untuk diajukan ke sponsor di Inggris. Kesempatan menarik untuk oarng yang biasanya duduk di pagar. Tema yang diangkat sangat menarik dan cukup original (bukan plagrism) Apabila saya akan kembali melakukan riset doktoral saya akan tertarik seperti lebih dari 15 tahun lalu.

Sayangnya proposal tersebut diarahkan untuk level yang lebih tinggi, yaitu framework sebuah tema riset yang ditujukan untuk dibaca oleh panel funding review, bukan kandidat doktoral. Yang lebih disayangkan lagi, tema yang diajukan sangat tidak cocok bagi sponsor yang dituju, dan ini cukup jelas apabila penulis melihat perkembangan bidang keilmuan tersebut dalam 15 tahun belakangan ini... Ternyata keluhan teman tersebut memang benar.

Sudah seharusnya puhak seperti Dewan Riset Nasional dan LPDP untuk melihat strategi bagaimana meningkatkan kompetensi riset Indonesia. Sekedar mengirim sugudang mahasiswa S3 tanpa visi yang jelas hanya akan memberi manfaat yang terbatas bagi Indonesia. Mengapa tidak mencoba untuk bekerja sama dengan inisiatif seperti the Newton Fund ?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline