Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Kearifan Lokal Masyarakat Desa Penglipuran Bali

Diperbarui: 14 Januari 2021   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Desa Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Desa ini terkenal dengan tradisi-tradisinya yang unik dan masih bertahan di tengah arus modernisasi. 

Leluhur masyarakat Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani, Bangli. Kata "penglipuran" konon bermakna pengingat terhadap leluhur. Ada juga yang mengartikan "penglipuran" sebagai kata yang berarti pelipur atau penghibur. Konon Raja Bangli di masa yang lalu suka menghibur diri di desa ini karena tempatnya yang asri dan indah. 

Masyarakat Desa Penglipuran merupakan masyarakat Bali Aga atay Bali Mula. Desa ini sangat kukuh dengan tradisi Pra Majapahit. Keindahan dan keasrian tempat ini masih bisa kita nikmati sampai sekarang. Tata ruang dan arsitektur yang khas akan nampak ketika kita memasuki desa ini. Gapura yang berderet rapi dengan atap yang terbuat dari bambu. 

Masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan baik. Bambu merupakan hasil hutan masyarakat yang dipelihara dengan baik. Terdapat hutan bambu yang luasnya sekitar empat puluh lima hektar. Hutan ini tetap lestari karena dilindungi dengan aturan-aturan adat,

Sebagai penganut Agama Hindu, perikehidupan masyarakat Desa Penglipuran dilandasi oleh filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berarti tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan dalam hidup. 

Pertama, harus menjaga keharmonisan hubungan dengan Sang Pencipta. Kedua, harus menjaga hubungan harmonis dengan sesama manusia, dan yang ketiga, harus menjaga keharmonisan dengan alam lingkungan hidup manusia. 

Keharmonisan hubungan dengan Sang Pencipta dilakukan dengan merawat tempat-tempat suci yang mereka miliki. Di desa ini terdapat Pura-Pura untuk memuja Dewa Tri Murti yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Dewa-Dewa yang dikenal sebelum masuknya pengaruh Agama Hindu juga memiliki tempat suci atau Pura tersendiri. 

Masyarakat Penglipuran menyebut Dewa-Dewa dengan sebutan Ratu Sakti. Dewa penguasa hutan mereka sebut Ratu Sakti Alas Angker, Dewa penguasa sumber air mereka sebut Ratu Sakti Mpu Naluah. Kepercayaan terhadap Dewa-Dewa inilah yang menjadi pendorong perilaku masyarakat untuk tetap menjaga alam lingkungan mereka. 

Leluhur masyarakat Penglipuran mewariskan suatu etika ekologi yang terpelihara hingga kini. Hutan dan sumber-sumber air adalah sakral. Mengikuti Mircea Eliade, Hutan dan sumber-sumber air tersebut adalah hierofani dan theofani bagi masyarakat Penglipuran. 

Harmonisasi kehidupan sesama manusia, dipertahankan dengan kearifan-kearifan lokal yang diwariskan para leluhur. Persaudaraan sesama anggota masyarakat terjalin dengan kebersamaan dalam melakukan aktifitas upacara agama. di desa ini terdapat tradisi " nyangkepang sager" yaitu makan bersama dengan lauk ikan asin dan parutan kelapa. Tradisi ini bermakna kesederhanaan hidup dan kebersamaan. 

Di Desa Ini juga terdapat "karang memadu". Suatu tempat khusus bagi masyarakat yang hidup berpoligami. Sampai saat ini tidak ada yang menempati tempat tersebut karena tidak ada masyarakat yang hidup berpoligami. Sampai saat ini keindahan dan keasrian desa ini dapat dinikmati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline