Lihat ke Halaman Asli

Igor Dirgantara

Focus Group Discussion Magister Komunikasi Universitas Jayabaya

Rohingya dan Impotensi ASEAN

Diperbarui: 2 September 2017   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rohingya bukan masalah baru di ASEAN. Isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada kasus etnis minoritas muslim Rohingya di Myanmar berulang terjadi dan sangat nyata.

Ironisnya, lebih dari 50 tahun usia ASEAN, organisasi ini terlalu banyak berbicara tentang kerjasama dan koordinasi. Namun saat dibutuhkan malah jauh dari perwujudan. Perasaan kekitaan" (we feeling) dari Komunitas ASEAN hanya tong kosong. Para pemimpin ASEAN doyan rapat dan konsultasi (habit consultation), saling menjabat dan bergandengan tangan pasca summit meeting (konferensi) -- tanpa bisa menyelesaikan masalah internalnya sendiri, kecuali jika ada bantuan dari kekuatan eksternal kawasan. Sad but true.

Sudah seharusnya ASEAN bisa menyelesaikan krisis kemanusiaan yang melibatkan masyarakat di kawasannya sendiri. ASEAN harus ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang dialami etnis Rohingya, apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) eksplisit mensyaratkan stabilitas kawasan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Namun isu keamanan dan HAM kerap menyandera langkah positif Komunitas ASEAN tersebut. Masalah Rohingya adalah 'test case' bagi ASEAN untuk bisa diselesaikan (conflict resolution). Bukan prestasi namanya jika melulu hanya membangun kepercayaan (confidence building measures) diantara anggota ASEAN, tapi mandul keberhasilan penyelesaian genosida di internal kawasan.

Saatnya elemen kemanusiaan wajib mendapat porsi yang lebih besar di kawasan Asia Tenggara untuk menciptakan situasi kondusif dalam hal kebebasan berpolitik dan penegakan HAM, termasuk juga tanggung jawab memberi perlindungan kepada civil society ASEAN.

Sebenarnya ASEAN telah berkontribusi menciptakan perdamaian di Asia Tenggara, seperti penyelesaian masalah Kamboja, konflik Sabah dan sengketa candi Preah Vihear. Sayangnya, ASEAN selalu menutup mata terhadap nasib etnis Rohingya, atau kerap disembunyikan di bawah karpet (sweep sensitive political-security issues under the carpet) pada setiap pertemuan puncak para pemimpin negara anggota ASEAN.

Karena itu, ASEAN perlu mengambil tindakan darurat dalam menangani masalah Rohingya sekarang ini. Karena provokasi kebencian terhadap kaum Rohingya tidak hanya dilakukan oleh para biksu radikal semata, tetapi juga dilakukan oleh pemerintah Myanmar itu sendiri dengan adanya UU yang tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari warga negaranya.

Keengganan Myanmar untuk secara terbuka mendiskusikan masalah ini adalah kendala terbesar ASEAN untuk mencapai posisi bersama. Belum lagi adanya "doctrine of non-interference" yang masih di adopsi dalam ASEAN Charter. Karena itu, ASEAN seyogyanya memakai prinsip non intervensi itu secara fleksibel, atau mengabaikannya saja sekalian untuk menekan pemerintah Myanmar agar bertanggung jawab dan memberi solusi terbaik.

Yang lebih menyedihkan lagi, dibawah kuasa tokoh populer pro-demokrasi Aung San Suu Kyi pun tetap saja Myanmar adalah rejim yang intoleran. Lihat bagaimana pemerintahan Myanmar lebih merespon terhadap tekanan China, AS, Perancis atau Rusia dan investor-investor negara asing lainnya demi kepentingan eksplorasi minyak dan gas bumi, ketimbang tekanan Dewan HAM PBB soal kekerasan yang melanda etnis Rohingya. Susah payah 'roadmap democracy' yang dimotori Indonesia di ASEAN mengikis kekuasaan otoritarian junta militer Myanmar masih saja tetap menyisakan buah kekejaman terhadap minoritas Rohingya.

Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara punya kesempatan menunjukkan kepemimpinannya di ASEAN untuk mambantu penyelesaian masalah Rohingya ini. Aktif membantu masalah Rohingya akan berdampak positif bagi pemerintahan Jokowi, baik domestik maupun internasional. Pemerintah Indonesia bisa segera mengambil langkah diplomatik atau menggalang negara ASEAN lainnya, terutama Malaysia untuk mengambil langkah tegas dan konkrit agar Pemerintah Myanmar menghentikan pembantaian brutal terhadap suku Rohingya. Jika Mynmar tak bergeming, Indonesia dan Malaysia bisa memprakarsai hak penentuan nasib sendiri (self determination) bagi Rohingya, sebagaimana pernah terjadi di Kosovo atau Timor Leste. We are all Rohingya now.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline