Tiga hari lagi masyarakat Indonesia memperingati hari lahir Pancasila. Bahkan, presiden Joko Widodo tahun lalu telah menetapkan 1 Juni sebagai libur nasional. Ketua ormas Barisan Penegak Trisakti Bela Bangsa (Banteng) Indonesia, Ketut Guna Artha mengatakan, penetapan itu sudah melalui kajian dan memiliki sumber hukum atas keabsahan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang untuk pertama kalinya dicetuskan dasar negara Pancasila.
"Oleh karena itu, polemik kelahiran Pancasila harus berakhir setelah presiden Joko Widodo resmi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila," ujar Guna Artha kepada NusaBali, Minggu (28/5). Menurut Guna Artha, Pancasila bukanlah konstitusi yang bisa digugat. Pancasila merupakan konsensus bersama para pendiri bangsa sebagai filosofi dasar Indonesia merdeka.
Pancasila adalah sumber dari sumber hukum produk konstitusi dan produk hukum dibawahnya. Untuk itu, Pancasila harus menjadi ideologi yang hidup, karena digali dari kearifan bangsa kita. Dimana masyarakatnya religius, menghormati alam semesta ciptaan Ilahi, ciri kehidupannya bergotong royong, menghormati kemanusiaan, tradisi mengedepankan musyawarah serta masyarakat yang gemah ripah loh jinawi.
"Sudah sepantasnya Pancasila menjadi ideologi yang paripurna, karena telah mengakomodir religiusitas bangsa kita yang majemuk," tegas Guna Artha. Dalam perjalanan, kata Guna Artha, Pancasila telah berkali-kali diuji "kesaktiannya". Hasilnya telah terbukti dan teruji sebagai perekat serta pemersatu bangsa yang berbhinneka.
Ia menjelaskan, tahun 1948-1965 terjadi upaya meminggirkan Pancasila dan menggantikannya dengan ideologi Islam dan Komunis. Namun bangsa Indonesia tetap bisa menjaga dan mempertahankan Pancasila. Lalu pasca jatuhnya rezim Sukarno oleh rezim Suharto, Pancasila dijadikan tameng dan alat melanggengkan kekuasaan.
Pancasila dijadikan alasan untuk mematikan demokrasi, memenjarakan lawan-lawan politik hingga membredel kebebasan pers. Pancasila hanya menjadi lips service, bukan dijadikan nilai-nilai implementatif, sehingga menyimpan api dalam sekam yang pada gilirannya mendapatkan ruang bebas pasca jatuhnya rezim Soeharto.
Era reformasi yang meliberalkan demokrasi, ucap Guna Artha, akhirnya memberi ruang bebas munculnya gerakan anti azas tunggal Pancasila. "Pancasila seakan dianggap nilai-nilai usang. Kemudian ditiadakan pendidikan moral Pancasila serta dihapuskannya P4. Dilain pihak, bibit-bibit anti Pancasila mendapat kesempatan berkonsolidasi dengan dalih demokrasi dan HAM," paparnya.
Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, kemudian memunculkan diskursus pandangan liberal dan sektarian. Memunculkan primordialisme dan politik identitas. "Untungnya semasa bapak almarhum Taufik Kiemas cepat menyadarinya, sehingga lahirlah gagasan program Sosialisasi 4 Pilar berbangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika). Saya bersyukur, negara akhirnya hadir melihat potensi ancaman konflik horisontal dan disintegrasi bangsa," imbuh Guna Artha. k22
Tulisan ini merupakan wawancara Jurnalis Harian Nusa Bali kontributor Jakarta.
Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila. #SayaPancasila #BungKarnoBapakBangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H