Lihat ke Halaman Asli

Biang Kerok Kisruh Parlemen

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum usai rakyat Indonesia menikmati kegembiraan politik, akhir-akhir ini ratusan juta mata rakyat Indonesia tertuju pada gedung MPRRI/DPRRI karena ulah politisi Senayan yang brutal, jauh dari sikap negarawan seorang wakil rakyat yang terhormat. Bayangkan saja siang hari dilantik dan mengucap sumpah jabatan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang dihadiri Presiden dan Presiden terpilih, dalam paripurna perdana malam harinya wakil rakyat telah mempertontonkan prilaku yang menodai demokrasi yang telah kita bangun 15 tahun pasca reformasi.
Ada apa dengan kelakuan anggota DPRRI yang komposisinya 57% wajah baru tapi DPRI masih menunjukkan prilaku lama?
Mari kita coba membedah apa sesungguhnya yang menjadi biang kerok kisruhnya parlemen.
Dalam Pasal 82 UU 27/2009 menyebutkan bahwa
1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 orang ketua dan 4 orang wakil ketua yg berasal dari parpol berdasarkan "urutan perolehan kursi terbanyak di DPR"
2)Ketua DPR adalah anggota DPR yg berasal dari parpol yg memperoleh "kursi terbanyak pertama di DPR".
Berdasarkan hasil pemilu legislatif 2009 maka partai Demokrat telah mendapatkan haknya sebagai ketua DPRRI 2009-2014
Demikian pula halnya mengenai alat kelengkapan dewan yang telah diatur dalam Pasal 95 UU 27/2009 bahwa Pimpinan Komisi terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 3 orang wakil yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan "proporsional dgn memperhatikan keterwakilan perempuan" menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi
Menjelang kontestasi pemilu legislatif 2014 dan Pilpres 2014, partai politik yang mendapatkan penurunan elektabilitas menurut hasil-hasil survey mulai mengatur siasat menyiapkan langkah-langkah secara konstitusional untuk melanggengkan hasrat berkuasa. Strategi melanggengkan kekuasaan ini semakin terlihat terpolarisasi ketika pengumuman hasil pemilu legislatif dan menghadapi Pilpres dengan lahirnya Koalisi Indonesia Hebat (Jokowi-JK) dengan Koalisi Merah Putih (Prabowo-Hatta). Dengan didukung oleh koalisi partai-partai besar, Prabowo-Hatta begitu yakin akan memenangkan kontestasi Pilpres. Segala cara ditempuh untuk mengangkat elektabilitasnya termasuk membangun persepsi publik melalui hasil survey lembaga survey "abal-abal" namun apa daya saat jelang pencoblosan 9 Juli 2014 tak mampu membendung elektabilitas Jokowi-JK.
Oleh karenanya Koalisi Merah Putih memaksa untuk disahkannya RUU MD3 (UU 17/2014) pada tanggal 8 juli 2014 sehari sebelum pencoblosan Pilpres. Inilah pintu masuk bagi kelompok mereka untuk menjegal partai pemenang pemilu legislatif dan masa depan pemerintahan Jokowi-JK
Menurut hemat kami tak ada urgensi DPRRI harus merevisi UU MD3 mengingat UU tersebut telah mengatur mekanisme penetapan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya secara demokratis terutama pimpinan DPR yang melibatkan partisipasi langsung rakyat dalam pemilu legislatif sehingga 5 (lima) partai besar sesuai perolehan suara rakyat telah merepresentasikan kehendak rakyat.
(Jika tak ada perubahan UU MD3 maka pimpinan DPRRI: PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB)
Merasa hak konstitusionalnya dirampas maka sebagai pemenang pemilu legislatif sangat beralasan PDI Perjuangan mengajukan gugatan judicial review ke MK dengan Nomor Perkara:73/PUU-XII/2014.
Pokok Perkara:Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Menurut PDI Perjuangan, risalah rapat pembahasan RUU MD3 mencatat bahwa Presiden dan DPR tdk pernah memasukkan usulan revisi materi RUU MD3. Susupan materi pasal 84 yg tidak diketahui keberadaan sebelumnya adalah lebih bermotif politik. Namun sangat disayangkan MK menolak seluruh gugatan PDI Perjuangan.
Menariknya ada 2 (dua) orang hakim MK yakni Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati memiliki perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam pembacaan amar putusan. Pernyataan Maria dan Arief yang mengatakan pembentukan UU MD3 bertentangan dengan asas hukum, dan sarat motif politik.
Maria berpendapat, pada fakta persidangan, UU MD3 khususnya Pasal 84 tidak pernah masuk dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) sebelumnya, tetapi tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah komposisi hasil pemilu diketahui. Pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945 sehingga, secara formal, UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya,
Hakim MK lainnya, Arief berpendapat bahwa mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya yang selalu berubah-ubah dalam setiap pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum.
Dilain pihak MK mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian atas perkara nomor 82/PUU-XII/2014 pada tanggal 29 September 2014.
Dengan demikian, pasal-pasal yang diujikan, yakni Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditambah dengan frasa “dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”. Melalui putusan tersebut, MK menguatkan keterpilihan perempuan untuk menduduki kursi pimpinan alat kelengkapan DPR, yakni Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan Panitia Khusus.
Biang Kerok Kisruhnya Parlemen
Dengan telah dibacakannya amar putusan oleh MK yang menolak gugatan PDI Perjuangan maka mekanisme pemilihan pimpinan DPR mengikuti UU No 17 tahun 2014.
Pada saat hari pelantikan anggota DPRRI melaui forum rapat konsultasi, pihak Koalisi Indonesia Hebat berharap penundaan paripurna untuk memilih pimpinan DPRRI. Namun Koalisi Merah Putih memaksa untuk melanjutkan paripurna saat dini hari. Disinilah terjadi drama politik yang memalukan dan aksi walk out anggota DPRRI dari Koalisi Indonesia Hebat (PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, Hanura). Pimpinan sidang sementara dari Fraksi Golkar (anggota tertua) dan Fraksi Gerindra (anggota termuda) dinilai otoriter dan tidak mengakomodir usulan-usulan anggota fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Paripurna terkesan telah disetting untuk memaksakan terpilihnya paket pimpinan DPRRI (Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS) dan dilantik subuh hanya dihadiri anggota DPRRI Koalisi Merah Putih. Sungguh ironi ditengah lembaga DPR yang mengalami krisis legitimasi.
Setelah berhasil merebut pimpinan DPR, Koalisi Merah Putih dengan hasrat kuasanya berniat menyapu bersih pimpinan di alat kelengkapan dewan. Dan hari ini Senin, 6 Oktober kita akan lihat kembali sejauhmana sikap kenegarawanan elit-elit politik fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dalam paripurna untuk memilih pimpinan MPRRI.
Konsekwensi Parlemen dikuasai KMP Akibat MD3
Dengan dikuasainya pimpinan DPRRI dan mayoritas suara maka Perppu yang menolak UU Pilkada Tak Langsung sepertinya sulit diterima Koalisi Merah Putih.
Dengan dikuasainya pimpinan alat kelengkapan dewan seperti Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan Panitia Khusus maka pemerintahan Jokowi JK akan menghadapi tantangan besar dalam merealisasikan program-programnya yang pro rakyat.
Dengan dikuasainya pimpinan MPR sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengAmandemen UUD1945 maka niat Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan Presiden dipilih MPR sangat mungkin, niat membubarkan MK dan KPK sangat mungkin.
Melihat dinamika politik ditengah jelang pergantian pemerintahan dengan gejala itikad tidak baik Koalisi Merah Putih maka kekuatan rakyat perlu dikonsilidir demi menjaga demokrasi dari pembajakan oleh sekelompok elit yang berupaya secara konstitusi ingin merampas kedaulatan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline