Lihat ke Halaman Asli

Ifla Maulana

Ruang belajar

Tanpa Tiket

Diperbarui: 9 Maret 2023   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kapan kau terakhir menyesal?" seseorang bertanya kepadaku dengan wajah yang begitu tenang.


"Ada banyak harapan dan keberkahan yang luput aku syukuri, banyak juga penyesalan yang kutelan. Mungkin, bisa jadi, adalah karena kekecewaan di masalalu. Tapi tak kubiarkan rasa penyesalan itu menggagahiku. Penyesalan hanya membuat kematian terasa pendek. Hidup terlalu sesak jika dibebani sederet penyesalan!" jawabku.


Ia menghela nafas. Lebih dalam dari sebelumnya. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Namun aku lebih memilih menatap wajahnya yang kian layu. Jalanan makin gelap. Semua ruang dipenuhi kesunyian.


"Aku pernah dengar cerita tentang seorang lelaki tua pengayuh perahu, ia bicara tentang bagaimana 'melepas'. Kata lelaki tua itu, jika ingin berjalan tanpa memiliki beban, maka 'melepas' semua yang dimiliki," katanya.


Kubiarkan dia bercerita. Barangkali ini momen yang tepat untuk membuatnya lega karena terlalu sering memendam perasaan yang tak bisa ia sampaikan.


"Tapi, agak ambigu juga. Apa lelaki tua itu tak pernah berpikir, bahwa tidak semua orang bisa menjadi pejalan? Karena terlalu berat jika harus melepas semua yang dimiliki. Ada semacam fiksi, mungkin lebih pas disebut harapan. Bahwa suatu hari ketika seorang pejalan kembali, ada sejumlah hal yang menunggunya, entah itu rumah, keluarga, kenangan atau kekasih," lanjutnya, sambil menatap jalanan. 


Aku masih memandangi wajahnya. Namun disela-sela ia bercerita, aku mencoba mengajukan pendapatku.


"Apa yang semula dibayangkan tentang menyambut kedatangan seorang pejalan, pada saat yang sama juga berpeluang disuguhi pengalaman yang tak mengenakkan. Bukankah tak menyenangkan, rumah yang kita anggap menunggu sosok kita, ternyata pintunya terututup? Bukankah menyesakkan kekasih yang kita kira menunggu, malah justru pergi memunggungi kita?" kataku pelan. 


Aku merapikan tempat duduk. Kusulut api dan kupindahkan bara itu menjadi gumpalan asap yang terhembus dari mulut.


"Perpisahan hanya soal waktu. Kadang perpisahan tak bisa menunggu sampai seseorang benar-benar sudah kembali pulang," lanjutku.


Aku tidak tahu, tak akan pernah tahu, akan berakhir di mana alur dari riwayat ini. Namun, kabar buruk mengejutkan yang ku dengar langsung itu asal muasalnya dari pertanyaan tadi. Membuat fragmen-fragmen masalalu berkelebat setiap detik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline