Lihat ke Halaman Asli

Ifla Maulana

Ruang belajar

Warung Ari Resto: Menjemput Kenangan

Diperbarui: 10 Juni 2022   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sore ini sepulang kerja, saya mengunjungi Warung Ari Resto; sebuah tempat yang (pernah) menjadi tongkrongan saya dan beberapa teman saat masih kuliah.

Saya merekam, memotret dan mendikte tempat ini lebih detail sebagai suatu peristiwa penting yang sudah jarang dilakukan. Momen ini amat berharga, bagi saya, itu mengapa harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Saya akan bercerita sedikit mengapa tempat ini menjadi satu monumen sejarah yang mesti diziarahi. Pasalnya, seusai lulus kuliah saya -entah teman yang lain- sudah sangat jarang mampir atau sekedar ngopi santai sambil mereview (bukan ghibah) orang yang tampak di jelaga mata.

Paragraf di atas memang terkesan naif, karena sedari awal saya atau teman saya yang membaca tulisan ini juga pasti menyadari kalau diantara masing-masing dari kita mempunyai kesibukan. Sehingga tak perlu lagi ditulis. Saya tak peduli akan disebut sampah atau hanya memenuhi karakter saja. Tapi izinkan saya mengawali tulisan ini sebagai sesuatu yang naif; senaif Warung Ari Resto ini.

Warung Ari Resto bertempat tepat di depan kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Cukup luas, juga amat nyaman jika untuk nongkrong sambil menghitung kendaraan lewat. Kurangnya di tempat ini, kami tak bisa melingkar. Karena dari segi tempat, Warung Ari Resto cenderung horizontal. Jadi kami hanya bisa berderet.

"Ri... Kopi hitam satu," kata orang yang duduk di sampingku.

Kalimat itu memang terdengar biasa, namun, jika ditilik lebih jauh. Kalimat itu seperti suara rengekan anak meminta sesuatu kepada orangtua. Tak dipungkiri pula, kita juga tak jarang menyimpan amarah jika suara kami tak didengar. Kita kadang menggerutu, "Brengsek! Padahal saya duluan yang pesan. Kenapa orang lain yang dilayani lebih dulu."
Ya, gerutu itu kami jumpai saat awal mula nongkrong di sini.

Namun, jika sudah mengenal lebih dekat ke sosok penjualnya, Ari. "Kadang saya merasa risih, sementara tangan saya cuma dua. Mau tidak mau harus gantian. Soal siapa lebih dulu, saya lebih mendahului perempuan ketimbang laki-laki," jawabnya sambil terkekeh, saat saya ngobrol intens dengannya.

Kapan Ngopi (lagi) di sini?

Tempat ini, bagi saya, memiliki sejarah yang panjang selama saya menjadi mahasiswa. Dulu, tempat ini banyak melahirkan wacana-wacana baru bagi dunia kampus. Kami sering berdiskusi di sini, membahas kebebalan dosen dalam mengajar, trend mahasiswa, juga membahas buku. Dan di tempat ini pula cikal bakal saya mencintai dunia buku.

Saat berkumpul atau tanpa diduga bertemu teman di sini. Pertanyaan paling fundamental yang wajib dicetuskan adalah, "Sedang baca buku apa?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline