(Dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Soejinah")
Pada sepintas angin pagi, kutemukan wajah yang tak asing di bulan Juni. Aku berjumpa dengannya tak lama setelah hujan turun, di tengah kesepian.
Pada kilap kecil lampion ungu, kulihat seraut wajah yang tak asing di bulan Juni. Aku mengenalnya ketika pelangi tak dapat terlihat lagi setelah hujan turun. Dan aku menamainya rindu.
Pada derap langkah mendung, kuperhatikan wajah yang tak asing di bulan Juni. Aku pernah menjadi satu kata dalam judul puisinya, dan aku begitu terlena. Hingga beberapa tahun kemudian, aku terhapus dari semua kalimat yang dirangkainya.
Berhelai daun kering terserak melingkar di pelataran. Aku terkejut melihat pohon itu meranggas di pagi hari dengan sebuah apel ranum tertinggal di dahannya.
"Serampai daun terkujur mati! gumamku.
Melihat apel ranum itu, membuatku harus kembali mengurut kisah beberapa tahun lalu, kala seorang perempuan masih menjadi kekasihku. Sudah bebeberapa jam kami duduk dalam mobil, sementara hujan tak juga reda.
Aku ingat, saat itu ia benar-benar menahan airmata. Bayangan gelap yang terpantul kaca jendela mobil dari cahaya mendung langit, setengah menutupi wajahnya. Masih kuingat apa yang kuucapkan.
"Mari kita kembali kepada hukum Murphy! Jika ada sesuatu yang berpotensi salah, maka hal itu akan menjadi salah, dan semua memakan waktu lebih lama dari seharusnya, serta tidak ada sesederhana yang terlihat." ujarku.
"Jika kamu menyimak hukum itu, maka sudah pasti kamu akan mengerti tentang hubungan kita. Kamu dan aku tak sesederhana airmata yang keluar dari mata seorang perempuan yang merindukan kekasihnya. Kita tak sesederhana pelukan hangat di musim dingin, sebab kita mempunyai hidup masing-masing." lanjutku.
Begitulah aku membunuh perempuan yang kunamai rindu.