Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Soejinah

Diperbarui: 23 Maret 2020   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tepi danau senyap aku menyaksikan sekuntum bunga teratai menyapu wajahnya. Beberapa kelopak darinya terlihat begitu melelahkan, lunglai tak berdaya. Selanjutnya ia terlelap tanpa sempat menyembunyikan raut kesedihan wajahnya dariku. Aku berpikir, bahwa bunga itu terlalu berani memperlihatkan kesenduannya padaku. Walaupun mungkin dalam pikiran terakhirnya, hal itu akan menjadi salah satu penyesalannya baginya.

Wajah tirus bunga itu sangat menyita perhatianku. Ia mengingatkanku pada separas wajah cantik yang berbincang denganku di sebuah kafe, di sudut jalan Braga. Mata kosongnya tengah memberitahukan padaku, bahwa begitu banyak rahasia dalam kehidupannya.

               Dengan tergesa-gesa aku memasuki sebuah kafe yang memiliki ruangan berinterior minimalis. Suasana terlihat sesak, banyak orang yang berteduh dari hujan lebat di luar kafe.

               Aku berdiri membelakangi pintu masuk kafe, berharap mendapatkan tempat duduk. Entah apa yang menuntunku berjalan pada sebuah kursi dan meja yang telah terisi oleh seorang perempuan berkulit putih, dengan rambut ikal sebahu, dan sikap yang begitu dingin.

               Beiring suara degup jantung dan nyali yang ciut, aku memberanikan diri meminta izin padanya agar dapat duduk bersamanya yang sedang serius membaca sebuah buku.

“Permisi, boleh kududuki kursi ini?” keringat dingin berselanjar perlahan dari dahi melewati kelopak mataku.

               Sesaat sikap perempuan itu benar-benar membuatku mati kutu. Telak, hampir kutelan ludahku sendiri. Terlihat ia begitu serius membaca sebuah buku filsafat. Pikirku ia berpura-pura tak mendengar sapaku, namun pada saat aku membalikan tubuh untuk mencari tempat lain, tiba-tiba ia bersuara.

“Ya, silahkan.” dua kata yang diucapkannya bernada datar.

               Beberapa menit kami tak saling sapa atau pun sekedar basa basi, sampai setengah jam kemudian, tiba-tiba ia bertanya padaku dengan nada datarnya yang kedua.

“Bagaimana menurutmu, tentang langit dan tanah?” desaknya dengan seutas senyum datar, berbarengan menutup buku yang sedang dibacanya.

“Aku berpikir, bahwa langit dan tanah selalu menjadi satu, sebab mereka berada dalam satu ruang, yaitu bumi. Akan tetapi di atas langit masih ada langit yang tak pernah menjadi bagian dari bumi. Atas hal itulah para Astronot dapat menembus langit bumi dan menuju langit di atas langit bumi.” tegasku, membuatnya tercengang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline