Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Selongsong Waktu

Diperbarui: 22 Maret 2020   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award 2013)

Suatu hari nanti, aku akan berada di balik selimut kafan. Mungkin saat itulah aku akan menyadari, bahwa semua keburukan dan kebaikanku telah dicatat, ditandai.  Semua terhitung jumlahnya, berurutan mulai dari satu, seratus, seribu, sejuta, sampai milyaran perbuatanku di dunia. Jadi apa yang akan aku lakukan dengan sisa hidup ?  

Seakan aku merasa memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang menurutku bisa kulakukan. Bahkan terkadang aku selalu merasa dapat menggunakan kemampuan yang telah diberikan-Nya, dengan selalu berusaha melawan perasaan akan sebuah kegagalan. Semua benar-benar seakan mudah bagiku. Tapi aku juga tahu, bahwa semua berawal dari niat. 

"Kawan, bangun! sudah siang." seakan suara Jagad membangunkanku.

Sudah seminggu ini aku sulit tertidur. "Entah harus kumulai dari mana cerita ini." Tapi bagiku Jagad adalah sahabat sejati, seminggu lalu ia baru saja wafat di medan tempur. Kami tinggal berdua sejak duduk di bangku sekolah. Ia yatim piatu. Ayahnya wafat pada peristiwa PKI. Sedangkan Ibunya menyusul sang Ayah setahun kemudian.

Seperti biasanya, pergolakan politik akan selalu mencari korban sebagai kambing hitam dari kecurigaan semata atas nama stabilitas. Akan tetapi aku tak pernah mau membahasnya, sebab fakta sebenarnya seakan hanya menjadi rahasia dari beberapa kalangan yang berkuasa.

Selepas sekolah menengah, kami sama-sama melanjutkan kuliah di  Fakultas Ilmu Sosial Politik. Kepiawaian Jagad dalam berorasi dan berpikir, telah membuatnya terpilih sebagai ketua badan esekutif mahasiswa. Tak ayal aku pun terbawa oleh jalan pikirannya untuk bergabung dalam organisasi kampus.

Sebagai mahasiswa yang kritis pada keadaan negeri, kami selalu memantau perkembangan Negara. Pada saat itu Negara di bawah kepemimpinan presiden yang telah dua kali terpilih.

Seratus hari telah berlalu sejak kepemilihan, namun keadaan Negara dan bangsa tak juga membaik.  Negara ini semakin terpuruk dalam kemiskinan hingga menghasilkan kesenjangan yang kian nyata. Tak pelak, demonstrasi pun mulai terjadi dimana-mana.

                  ***

Peristiwa siang itu sungguh mengejutkanku. Seharusnya tak kubiarkan peluru itu bersarang di dada Jagad. Aku telat beberapa detik mendorongnya agar terhindar dari peluru tajam yang dilucuti oleh salah seorang serdadu dengan tampang beringasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline