Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Kepergian Sahabat

Diperbarui: 16 Maret 2020   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Dimuat dalam buku 'Si Murai dan Orang Gila' - Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) 

Terkadang purnama datang, lalu sabit, bahkan keduanya. Bintang pun tak dapat menggantikannya. Maka kukatakan pada malam tentang kesedihan yang kupamerkan.

Sesaat dalam gulita, aku kerap mengingatnya. Bahkan saat wajah sang fajar datang, wajah sendunya seakan menebar senyum yang kembali mengingatkanku pada setapak perjalanan. Hal itu sungguh membuatku menahan rindu.

1 Jam usai pemakaman 

Nisan namanya membuat bulu kudukku merinding, dingin menghantam uluh hati. Seharusnya aku tak telat dalam prosesi itu. Seharusnya segera kuantar bibirnya mencium gumpalan pekat tanah untuk terakhir kalinya. Sedetik saja aku tak terlambat, maka sudah pasti akan kucium kening pucatnya.

Peristiwa kematiannya membuatku terus mengingatnya, aku jatuh mengenangnya, sebab tiada yang sepeduli dia di kehidupanku. Namun mengapa dia harus lebih dahulu meninggalkanku, "aku benci pada tanah yang menguruknya, aku benci pada dua alam yang memisahkan persahabatan kami, aku benci!"

Beberapa kali kutampar gundukan tanah itu. Ingin rasanya segera kucopot papan nisan yang bertuliskan namanya "Dimas Sayuti Bin Achmad Sayuti" lalu mencangkul tanah yang menguburnya. Kemudian akan kuangkat jenazahnya dan merendamnya di kutub atau membalsemnya. Seperti pada dinasti oranje. Sebuah sejarah yang pernah kami dengar bersama. Dimana kisah tersembunyi Nieuwe Kerk (Gereja Baru) menjadi salah satu obyek wisata di Delft.

Mas Hadi, Seorang pria paruh baya, yang mengajak kami berbincang di pinggir pantai kuta, menceritakan lengkap sejarah itu.

"Tahukah kalian! Wahai dua pemuda gagah. Dengarlah kisah sejarah yang akan kuceritakan pada kalian. Tentang sejarah dinasti oranje. Banyak rahasia yang akan membuat kalian tercengang."

Saat itu aku dan Dimas saling melirik mata, seakan kami ingin terbahak menertawakan Mas Hadi. Namun kami juga harus mendengarkannya.

"Jadi beginilah sejarahnya." dengan mengangkat kedua tangan dan melihat kearah mata kami, Mas Hadi mulai bercerita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline