Ilmu dan akal adalah dua kesempurnaan yang diciptakan oleh Allah kepada manusia sekaligus menjadi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Dalam Islam, ilmu pengetahuan merupakan salah satu implementasi dari penggunaan akal manusia untuk survive dalam hidup dan juga harus menjadi salah satu bagian dari proses perjalanan manusia dalam mengenal Tuhan.
Pencarian ilmu pengetahuan juga menjadi bagian dari kewajiban manusia sebagai ciptaan-Nya, sehingga wajar ketika Allah menjadikan proses pencarian ilmu sebagai bagian yang bernilai ibadah. Ilmu telah mengubah peradaban kehidupan manusia, bahkan sejak jaman batu hingga di jaman sekarang dimana manusia mungkin berpikir bahwa segala permasalahan bisa diselesaikan oleh yang namanya AI. Dalam sudut pandang teologi Islam, ilmu, akal dan iman adalah satu rangkaian yang koheren. Koherensi ilmu, akal dan agama ini juga dapat dilihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan pengaruhnya terhadap kemaslahatan umat manusia. Sebut saja ketika James Watt menemukan mesin uap, Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, Al Farabi dengan sains dan filsafatnya, dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan besar yang mengubah kehidupan dan memberikan kemanfaatan untuk peradaban umat manusia dengan ilmu, akal dan iman mereka.
Ilmu, Akal dan Upaya Menguji Kebenaran Agama.
Namun demikian, faktanya saat ini banyak terjadi upaya-upaya memisahkan agama terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat peradaban manusia. Bukan hanya terbatas pada menghambat ilmu pengetahuan, bahkan banyak kita temukan fakta dimana banyak kelompok yang berusaha memisahkan agama terhadap keilmuan, bahkan memisahkannya dalam tata kelola kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Bukan hanya berusaha memisahkannya di kehidupan dunia, bahkan kehidupan setelah kematian pun mulai banyak diungkit dan diuji kebenarannya. Upaya menguji kebenaran agama sudah terjadi sejak jaman jahiliyah. Fir'aun pun pernah menggunakan akalnya dengan membunuh semua bayi laki-laki untuk mengurangi jumlah penduduk Ibrani. Di jaman nabi Ibrahim matahari dipertuhankan sebab ukurannya yang besar secara dimensi akal. Upaya menguji kebenaran agama ini terjadi dalam beriringan dengan upaya-upaya manusia untuk memisahkan ilmu dengan agama. Ilmu adalah ilmu, sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Bukan hanya terhadap ilmu, bahkan dalam banyak sendi kehidupan. Tentu sebagian kita pernah dengar "kalo berpolitik ya jangan pakai agama" atau "kalo bernegara ya gunakan ayat konstitusi, jangan ayat suci"
Agama Selaras dengan Ilmu Pengetahuan?
Lantas apakah ada peran agama dalam ilmu pengetahuan? Atau apakah agama selaras ataukah bertentangan dengan pengetahuan? Keselarasan ilmu pengetahuan dengan agama banyak dilakukan orang untuk mencari dasar sains terhadap perintah atau larangan yang ada dalam agama, dalam Islam sering diistilahkan dengan saintifikasi Islam. Misalnya terkait dengan munculnya temuan cacing pita dalam daging babi. Saintifikasi islam ini di satu sisi dapat berakibat pada pendangkalan makna dibalik perintah dan larangan Allah yang tentu bersifat kompleks yang hanya Allah yang Maha Tahu. Cacing pita itu hanya bagian dari hikmah, toh cacing pitajuga ada di daging sapi, tentu itu bukan menjadi sebab pelarangan umat Islam makan daging babi. Sebabnya ya dalam Quran Allah melarang. Namun demikian, saintifikasi Islam ini juga dapat saling melengkapi, karena kebenaran sains sebagai sebuah hukum alamiah dihadirkan dalam perintah agama. Kebenaran sendiri menurut Karl Popper merupakan sesuatu hukum ilmiah yang bukan saja berlaku untuk dibenarkan, melainkan juga bisa dibuktikan salah atau dengan istilah lain siap dibuktikan salah. Artinya sebuah kebenaran bukan hanya untuk diverifikasi melainkan juga siap untuk difalsifikasi. Falsifikasi inilah yang dapat menguatkan sebuah kebenaran atau membuka ruang munculnya kebenaran baru. Upaya falsifikasi kebenaran Tuhan ini pun dalam sejarah peradaban manusia sudah banyak terjadi, manusia menggugat eksistensi Tuhan dengan menggunakan keterbatasan akal manusia. Misalnya, fenomena jahiliyah yang terjadi pada jaman dimana manusia menyembah berhala, manusia mempertuhankan matahari dan semua benda-benda yang sebenarnya bukan Tuhan melainkan hanya sebuah sebuah ciptaan-Nya.
Dalam Islam, ilmu tidak hanya dipandang sebatas upaya pencarian nilai-nilai kebenaran baru, bukan hanya dalil-dalil kebenaran relatif melainkan sesuatu nilai atau upaya yang harus dapat mengarahkan manusia kepada kedekatan dan keridhaan kepada sang Pencipta, bukan sebaliknya menjadi penghalang terhadap kedekatan manusia kepada Allah. Akal memang menjadi tanda diantara kesempurnaan yang dimiliki manusia. Adanya karunia akal yang dapat membawa manusia kepada perjalanan hidup yang baik menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT, maupun kepada jalan yang buruk yang mendekatkan kepada kemurkaan Allah SWT. Sehingga dalam Islam rujukan utama yang menjadi pijakan dalam pencarian ilmu pengetahuan bukanlah akal melainkan merujuk pada ketentuan Allah SWT. Manusia hendaknya menyelaraskan ilmu dan agama dengan cara menggunakan Allah SWT sebagai rujukan dalam mengksplorasi nilai-nilai kebenaran ilmu pengetahuan.
Adalah termaktub dalam ayat ke-4 dari Surat At-Tin dalam Al-Qur'an yang artinya, "Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Manusia adalah sebaik-baik bentuk yang telah diciptakan oleh Allah sesuai dengan "Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwim". Sejalan dengan ayat tersebut, kewajiban dalam pencarian ilmu pengetahuan harus memenuhi dua tujuan yakni memelihara hubungan baik dengan Allah (hablum minallah) dan bakti atau kemanfaatan terhadap kehidupan manusia (hablum minannas). Keduanya merupakan upaya yang harus berjalan serempak sebagai kewajiban manusia memelihara akal untuk menjauhkan diri dari kemurkaan Allah sekaligus menjalankan kewajiban sebagai manusia ciptaan Allah. Contoh konkretnya, Allah menciptakan bulan sebagai benda langit yang berfungsi sebagai satelit bumi. Allah SWT juga menetapkan tempat-tempat perjalanan bulan agar manusia dapat mengetahui perhitungan waktu dan bilangan tahun.
Sama halnya ketika manusia dituntut untuk menyelaraskan ayat konstitusi dengan ayat suci. Memang negara harus diatur dan dijalankan berdasarkan ayat konstitusi. Namun tiang dari negara ini adalah ayat suci, sehingga nilai-nilai ayat konstitusi tentu harus selaras dengan ayat suci. Bagi bangsa Indonesia peran (baca: campur tangan Tuhan) dalam terbentuknya republik ini juga dinyatakan tegas dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kemerdekaan negara ini adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Agama dan konsep ketuhanan memang boleh diverifikasi oleh ilmu, pun halnya agama siap untuk difalsifikasi. Sama halnya ketika Al Quran menjelaskan secara rinci tentang penciptaan manusia yang bisa diverifikasi maupun difalsifikasi secara keilmuan (sains). Konsep Islam telah menyelaraskan keseimbangan antara ilmu, akal dan konsep teologis (iman). Sehingga dalam menggunakan akalnya manusia harus tetap berlandaskan pada nilai-nilai teologis. Hal ini juga diamini oleh pendapat Einstein bahwa ilmu tanpa agama, buta. Dan sebaliknya agama tanpa ilmu, lumpuh. Pada dasarnya akal manusia bukan tak terbatas. Saat manusia menganggap Tuhan itu Maha Besar, dan Tuhan itu Maha Pencipta, manusia beranggapan bahwa Tuhan Bisa Menciptakan yang lebih besar dari diri-Nya. Tentu itu lantaran keterbatasan akal manusia atas dimensi besar yang ada dalam akal manusia. Dengan demikian, agama memang selaras dengan ilmu pengetahuan. Bahkan agama turut menjadi pedoman bagi berkembangnya ilmu pengetahuan.
Terlepas dari perkembangan peradaban manusia yang selalu mencari kebenaran baru melalui ilmu pengetahuan, mencoba ingin mem-verifikasi atau mencoba mem-falsifikasi kebenaran Tuhan, Tuhan itu tetaplah sebab pertama, kebenaran yang tidak perlu kita cari penyebab kebenarannya. Di sisi sebaliknya kebenaran ilmu pengetahuan sejauh ini tetaplah dipandang sebuah pembenaran atau terbatas pada kebenaran yang masih berlaku sampai saat ini. Dengan demikian sepanjang manusia tetap berpegang nilai-nilai akal yang dilandaskan pada keimanan, maka ilmu akan mengarahkan dan menuntun manusia pada keselarasan hidup. Sekali lagi, ilmu pengetahuan itu akan selaras dengan agama ketika keridhaan Allah menjadi tumpuan pencariannya. Ilmu dan agama akan selaras jika digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan semua manusia. Karena mencari ilmu itu ada awal, tidak ada akhir, dan tentu ilmu bukan untuk gagah-gagahan dihadapan sesama manusia maupun dihadapan-Nya.
Demikian, terang bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya selaras dengan agama. Bahkan agama hendaknya menjadi pedoman dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Agama dapat menjadi rujukan dalam kita memverifikasi maupun memfalsifikasi kebenaran demi kebenaran yang akan terus diuji sepanjang berkembangnya ilmu dan peradaban manusia. Sekali lagi, ilmu pengetahuan tetap butuh agama untuk mendampinginya menuju kemanfaatan bagi umat manusia. Wallahu a'lam bissawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI