Lihat ke Halaman Asli

Ifan Maulana

Seniman Musiman

Jalan Asketis Seorang Patah Hati merupakan Solusi

Diperbarui: 17 Februari 2023   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sering kali kita menemukan problematika kehidupan yang dianggap rumit dan sulit dikendalikan. Seperti halnya yang satu ini, ya, patah hati, siapa sih yang tidak pernah mendengar kata ini atau belum dan bahkan masih tabu, tentunya tidak. Kata patah hati dalam benak pembaca sudah jelas, yakni suatu ekspesi untuk menjelaskan suasana sakit emosional atau penderitaan  mendalam yang dirasakana seseorang ketika kehilangan apa yang ia cintai. Bermacam-macam aspek yang meliputinya bisa melalui putus hubungan, kematian, perceraian atau makna lain semua yang terpisah secara fisik dan batin.

Namun patah hati yang sering disebut oleh khalayak luas ialah tentang penolakan cinta. Tentang apa itu cinta dan sekuat apa cinta itu tentunya banyak orang yang telah merasakan kehadirannya walaupun ketika ditanya tentang apa itu cinta mereka bingung untuk mengungkapkan secara argumentatif. 

Sebagaimana eksistensi cinta yang memang ada, disebutkan oleh seorang filsuf eksistensialisme Paul Satre bahwa “cinta adalah konflik, ketika saya mencintai seseorang maka saya berhadapan langsung dengan kemerdekaan orang yang saya cintai itu. Subjek yang mencinta berusaha menjadikan pihak yang dicintai sebagai objek pemenuh hasrat cintanya, demikian pula sebaliknya.” Jadi jelas bahwa siapa yang mencinta berarti ia pun siap dengan segala konsekuensinya.

Kembali kepada jalan asketis, asketisme secara umum bermakna segala sesuatu paham atau ajaran yang meninggalkan segala yang bersifat duniawi dan materi. Paham ini memandang bahwa keterikatan terhadap dunia dapat membelenggu serta menjadikan penghalang bagi manusia dalam usahanya mencapai kebaikan dan kebaikan. 

Sehingga atas dasar inilah hendaknya manusia lebih menolak keinginan-keinginan duniawi. Meskipun ada beberapa pandangan tentang asketisme sendiri bukan berasal dari ajaran Islam, namun Prof. Azyumardi Azra menampik hal tersebut dan mengatakan bahwa asketisme dalam Islam tidak berakar dari agama lain. Dan sikap asketik harus dikerjakan beriringan dengan konsep syariah dan fikih, sehingga tanpa keduanya maka sikap asketik sendiri tidak sah.

Lantas bagaimana jalan asketis harus ditempuh sebagai solusi seorang yang patah hati? Tentunya hal ini sejalan dengan kondisi psikologis seorang yang patah hati berada pada titik terendah, sehingga timbul padannya hasrat mencarian jati diri kembali, bagaimana mempertanyakan dirinya sendiri, nilai atau bahkan bakat yang dimiliki. Sehingga dari sini akan lagi Ubermensch, versi terbaik dari diri kita yang telah mengatasi diri, menaklukkan diri, dan memperbaiki kelemahan diri.

Karena bagaimanapun banyak kasus dari seorang jatuh cinta yang bukan bagian dari masalah hubungan cinta secara timbal balik antara dua manusia. Akan tetapi masalah pokoknya ada pada hasrat “keinginan” untuk memiliki apa yang tidak mereka miliki satu sama lain. Sebagaimana Arthur Schopenhauer menyatakan cinta hanyalah ilusi yang diciptakan oleh manusia, sebagai jalan memenuhi The Will to life melalui reproduksi serta “menaklukkan kematian” dan pada dasarnya semua akan berujung pada penderitaan diantara satu sama lain. Sehingga beberapa tawaran schopenhauer dalam mengatasi penderitaan tersebut salah satunya dengan jalan asketis.

Sederhananya mungkin dengan melakukan aktivitas membebaskan diri dari apa yang diinginkan. Karena bagaimanapun keinginan tentu bersifat duniawi, maka seharusnya kita kembali kepada jalan ketenangan yang sejati seperti banyak orang menyebutnya jalan ilahi. Namun tidak akan semudah itu ketika kita kembali menengok pada realitas kehidupan saat ini, dimana manusia sudah amat jarang untuk benar-benar menjalankan urusan akhiratnya. Sehingga kita harus membuat titik balik untuk semua itu yakni menegaskan dunia untuk mencapai ranah kedamaian, dan ketenangan, sehingga posisi egoisme diri dapat terlampaui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline