Pada masa kini konflik mengenai batas wilayah seringkali muncul di berbagai belahan dunia. Konflik yang terjadi bukan hanya mengenai wilayah daratan saja, namun konflik juga dapat terjadi mengenai klaim wilayah perairan, dimana terdapat beberapa negara yang mengklaim wilayah perairan yang sama.
Contoh nyata mengenai konflik batas laut yang terjadi saat ini adalah mengenai konflik Laut China Selatan. Laut China Selatan atau yang sering disingkat LCS merupakan wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Cina dan beberapa negara lain seperti Taiwan, Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Konflik mengenai LCS mulai menguat pada Mei 2009, ketika Cina secara resmi mengeluarkan peta nine-dashed lines untuk mengklaim 90% wilayah Laut China Selatan. Pada peta tersebut Cina mengklaim segala pulau yang berada di dalam garis tersebut merupakan miliknya beserta dengan kandungan laut maupun tanah yang ada di dalamnya.
Alasan Cina berani melakukan klaim atas LCS didasari oleh faktor historis, dimana perairan tersebut sejak dahulu telah menjadi tradional fishing ground bagi para nelayan Cina. Jika ditarik lebih jauh, pada Agustus 1951, Perdana Menteri Cina Zhou Enlai telah mengklaim kepemilikan Cina terhadap pulau Paracel dan Spratly sebagaimana tertulis di dalam dokumen yang diterbitkan oleh rezim Koumintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Hanya saja pada masa itu klaim Cina tidak terlalu mengundang atensi karena dianggap tidak mengancam kedaulatan negara lain sebagaimana kekuatan militer Cina belum kuat seperti sekarang.
Indonesia sendiri sebenarnya bukanlah salah satu negara yang mengklaim kepemilikan wilayah di Laut China Selatan, namun klaim Cina atas Laut China Selatan melalui peta nine dash line juga menyentuh wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di perairan Natuna Utara. Atas dasar klaimnya ini, Cina melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Laut China Selatan hingga memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.
Tentu saja dalam sudut pandang hukum laut internasional apa yang dilakukan oleh Cina ini telah melanggar United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan dapat dikategorikan sebagai illegal fishing. Hal inilah yang menjadi fokus utama keterlibatan Indonesia dalam konflik Laut China Selatan.
Tentunya upaya diplomasi telah seringkali dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada pemerintah Cina mengenai pelanggaran kedaulatan yang terjadi. Pemerintah Indonesia beberapa kali mengirimkan Nota Protes kepada Cina mengenai pelanggaran ZEE Indonesia yang dilakukan oleh Cina dimana Indonesia menolak klaim negara tersebut atas wilayah yang diklaim sebagai traditional fishing ground karena tidak memiliki landasan hukum internasional; dan Indonesia menolak klaim penguasaan perairan Laut Natuna Utara atas dasar nine dash line. Tetapi meskipun telah dilayangkannya nota protes oleh Indonesia kepada Cina, namun pihak Cina tetap menyangkalnya dan menyatakan bahwa Cina memiliki hak secara historis dan berdaulat atas perairan di Laut China Selatan termasuk sebagian wilayah Laut Natuna Utara.
Sikap keras Cina mengenai klaimnya atas LCS tentunya juga merugikan negara lain di Asia Tenggara yang wilayahnya termasuk ke dalam nine dash line buatan Cina. Salah satu negara di Asia Tenggara yaitu Filipina yang juga terlibat konflik LCS memberikan sikap tegas atas klaim sepihak ini.
Pada tahun 2013, Filipina bahkan membawa sengketa LCS ke Permanent Court of Arbitration (PCA) yang diinisiasi Presiden Benigno Aquino III pada saat itu. Isi gugatan Filipina kepada PCA ini mengenai dasar klaim China terhadap LCS serta mengenai fitur-fitur maritim yang disengketakan yaitu pulau yang dibuat China bisa menciptakan ZEE atau hanya berstatus elevasi surut yang tidak berhak atas zona apapun.
Pada 12 Juli 2016, PCA secara resmi mengeluarkan Keputusan atas sengketa ini, dengan menyatakan bahwa klaim China melalui faktor sejarah terhadap Nine Dash Line tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bertentangan dengan Hukum Laut Internasional. Namun, Cina tentunya tidak senang dan menerima begitu saja putusan dari PCA ini, melalui Kementerian Luar Negeri China mengatakan tidak akan mengakui dan menerima putusan tersebut karena tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Disisi lain, peran dari Organisasi Internasional khususnya ASEAN dalam hal ini tentunya sangat diharapkan. Pada tahun 2002, sejatinya negara-negara anggota ASEAN telah sepakat untuk merancang Code of Conduct (CoC) dengan Cina untuk mengatur wilayah LCS. Namun, kepentingan nasional yang berbeda-beda diantara negara ASEAN serta hubungan baik Cina dengan negara Asia Tenggara membuat CoC ini tidak kunjungan selesai hingga saat ini. Hal ini juga tentunya menyulitkan Indonesia yang saat ini sedang mendapat mandat keketuan ASEAN, karena perlu adanya persetujuan negara anggota lainnya untuk membahas masalah ini ke dalam ASEAN Regional Forum (ARF).