Saya masih ingat dengan jelas bagaimana groginya saya ketika masuk ke ruangan beliau untuk pertama kalinya. Bertemu beliau saat itu, saya bertingkah layaknya pria yang akan first-date dengan gebetan yang sudah lama dinanti-nanti.
Saya menyiapkan segalanya dengan detil, mulai dari baju sampai dengan parfum yang saya gunakan (lol). Bahkan sebelum bertemu, saya berkali-kali mengulang perkataan yang akan saya ucapkan untuk perkenalan diri. Ya, saya tidak ingin mengecewakan beliau dalam impresi pertamanya bertemu dengan saya.
Untuk apa saya ke ruangannya? Kebetulan, saya dipanggil oleh beliau karena tulisan saya tentang agama yang sempat viral, judulnya "Kenapa Agama Bikin Indonesia Gak Maju-maju". Itu adalah tulisan kritikan dan tuntutan pertama saya yang cukup 'berani' dan frontal untuk fanatik agama di Indonesia (yah, beginilah calon anak Kastrat, belum masuk Kastrat pun saya sudah banyak menuntut).
Akhirnya, saya pun sampai di ruangan beliau, kita sampai berbarengan. Beliau juga terlihat sedang berjalan dari toilet. Sambil berjalan dengan tongkat, beliau menuntun saya masuk ke ruangannya. Berantakan sekali, banyak buku berserakan. Saya baru sadar, ternyata, ruang guru besar juga bisa berantakan (tapi berantakannya berfaedah, dengan buku dan jurnal, hehe).
Lalu, saya pun dipersilahkan untuk duduk. Hal pertama yang beliau katakan adalah:
"Tulisan kamu kesebar sampai ke Belanda, Van, gak ngerti lagi saya".
Dan saya menjawab,
"Wah, saya juga gak ngerti, Pak. Wqwq."
Pernyataan basa-basi tersebut mencair menjadi obrolan. Kami akhirnya mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari masalah agama, deradikalisasi, politik di kampus, sampai dengan membicarakan idealisme kami berdua tentang perdamaian dunia, yang ternyata hampir sama persis.
Tidak terasa satu jam sudah berlalu. Kalau pakai teori intimate relationships, sepertinya saya dan Pak Ito sudah sampai ke tahap cognitive intimacy. Rasanya, hilang garis demarkasi antara 'guru besar' dan 'mahasiswa' saat kita sudah duduk dan mengobrol. Ah, beliau memang sangat membumi ketika berbicara dengan siapa pun. Itu juga salah satu hal yang saya kagumi dari beliau.
Setelah lama mengobrol, akhirnya kami kehabisan topik. Sampailah kami pada keheningan yang canggung, istilah gaulnya, awkward silence. Dari sana, suasana pun mulai agak serius. Sejenak, saya terdiam dan menyenderkan bahu saya yang cukup tegang saat itu. Keheningan itu berhenti sampai beliau akhirnya berbicara kembali.
"Sekarang, saya hanyalah seorang kakek yang ingin menghabiskan hidup saya melihat cucu saya bertambah tua. Saya lihat kamu sudah punya pola pikir dan mimpi yang pas untuk nantinya melanjutkan perjuangan 'kami' (peneliti deradikalisasi). Nanti, kamu ikut ya penelitian saya di Salemba. Kamu tahu, kan, Salemba di mana?" *mengambil buku*
"Sekarang, kamu ambil jurnal dan buku ini, pelajari... Ini nih yang namanya 'Psikologi Indonesia'"