Dalam acara wisuda di sebuah universitas ternama, tiga orang sahabat berhasil menjadi wisudawan doktor terbaik di bidangnya masing-masing. Sepanjang prosesi wisuda, mereka selalu mengucapkan hamdalah, memuji Allah serta mengucapkan shalawat kepada Rasulullah SAW sebagaimana diajarkan oleh Imam Syafi’i saat memperoleh perkara yang diharapkannya[1].
Sahabat pertama memiliki orang tua yang keduanya bergelar Doktor berkata, “Alhamdulillah, semoga orang tuaku bahagia aku bisa menyamai gelar beliau berdua.“
Selanjutnya sahabat kedua memiliki orang tua yang bergelar Magister turut pula menimpali, “Alhamdulillah, semoga orang tuaku bahagia aku bisa lebih baik dari beliau.”
Kemudian sahabat ketiga yang kedua orangtuanya tidak lulus SD, melanjutkan pembicaraan kedua sahabatnya, “Alhamdulillah, semoga orang tuaku bahagia meski aku belum bisa seperti beliau berdua.”
Mereka saling berpandangan. Tak sepatah katapun terucap hingga satu dari mereka berkata, “Kawan, kamu sudah bergelar Doktor. Orang tua kamu pasti bangga dengan apa yang tidak dimiliki orang tuamu.”
Saat mendengarkan tutur kata sahabatnya, tidak terasa sahabat ketiga berlinang air mata.
“Ya, tapi aku merasa masih jauh dari beliau berdua.” katanya sambal mengusap pipi yang kian basah karena tetesan air mata.
“Kenapa?” tanya kedua sahabatnya heran.
“Sehebat dan setinggi apapun gelar akademik yang kuperoleh, aku tidak akan bisa menyamai kedua orangtuaku. Meski orang tuaku tidak lulus SD dan aku kini bergelar Doktor, aku tidak bisa menyamai keduanya yang begitu sabar mendidik diriku dan saudara-saudaraku. Jika bukan karena keduanya yang begitu sabar menasehati diriku yang sering tidak mau sekolah saat anak-anak, aku tidak akan berada disini hari ini. Aku sering beralasan ingin membantu keduanya yang kesulitan ekonomi. Namun ayah dan ibuku berkata bahwa aku harus meraih pendidikan tertinggi meski keduanya harus bekerja keras siang malam mengumpulkan barang bekas dari tumpukan sampah.”
Ketiga sahabat itu terdiam dengan pikiran masing-masing, teringat akan jasa besar orang tua dalam mendidik mereka. Tangispun pecah diantara mereka bertiga menyadari betapa banyak hal belum bisa dicapai, bahkan hanya sekedar untuk menyamai kehebatan orang tua mereka. Mereka sadar seluruh prestasi yang mereka raih adalah buah usaha dari orang tua yang berjuang keras demi pendidikan anak-anak mereka.
Beberapa saat kemudian, orang tua mereka datang mendatangi ketiganya yang nampak bercucuran air mata. Sahabat pertama yang masih memiliki kedua orang memeluk erat ayah dan ibunya. Sahabat kedua yang tinggal memiliki ibu turut pula menangis tersedu sambil mendekap ibundanya. Keduanya berjanji tidak akan menjadi orang yang meninggalkan orang tuanya di usia senjanya. Mereka tidak ingin masuk dalam golongan yang Rasulullah sebut akan menundukkan hidungnya dan masuk neraka karena meninggalkan orang tua di masa rentanya[2].