Pendidikan yang layak merupakan mutiara berharga yang didampakan oleh setiap orang, terlebih lagi dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa pendidikan termasuk dari hak setiap warga negara yang harus dipenuhi. Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1-5 yang berbunyi:
- Setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan.
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintahan wajib membiayainya.
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
- Negara memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapat dan belanja negara serta dari anggaran pendapat dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia [1]
Namun bagi anak-anak yang berada di pelosok negeri, pendidikan yang layak hanyalah kata pemanis yang sering dijanjikan oleh para pemangku jabatan negara dan amanat dari Undang-Undang Dasar tersebut serasa mati karena realita yang ada tidak menggambarkan sama sekali pendidikan yang ada di pelosok negeri, jangankan pendidikan yang layak, fasilitas yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan proses belajar dan mengajar sangat jauh dari kata layak. Kesenjangan pendidikan yang ada di kota dengan pendidikan yang ada di pelosok tergolong sangatlah tinggi. Argumentasi tersebut dikeluarkan bukan tanpa adanya sebab atau hanya omong belaka, tetapi fakta menyebutkan bahwa: pada tahun ajaran 2022/2023 terdapat 1.093 anak dalam jenjang sekolah dasar mengalami putus sekolah, 313 dalam jenjang sekolah menengah pertama dan 919 dalam jenjang sekolah menengah atas serta termasuk 3 besar angka putus sekolah tertinggi dari 34 provinsi di Indoensia.[2] Oleh karena itu, tidak heran jika Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang meduduki peringkat pertama dalam hal penyumbang angka buta huruf. Sebagaimana data yang dikutip dari badan pusat statistika nasional (BPSN), Provinsi Nusa Tenggara barat tercatat memiliki penduduk buta huruf sebanyak 11,03%[3].
Hal tersebut sebenarnya buka tanpa sebab dan alasan yang pasti, karena dari segi fasilitas dan tenaga pendidik terlampau mengalami perbedaan yang sangat jauh. Penulis akan memberikan sampel yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan oleh komunitas back to sosial yang bertema "Lentera Anak Negeri". Kegaiatan ini dilakukan sebagai aksi nyata atas kepeduliaan dari volunteer back to sosial terhadap pendidikan yang ada di pelosok negeri. Lentera Anak Negeri sudah berlangsung sampai dengan jilid ke-3, dari kegiatan memberikan gambaran dan pengalaman berharga bagi setiap volunteer back to sosial. Sebagai contohnya ialah kegiatan yang bertempat di Sekolah Dasar Filial yang terletak di Kecamatan Bayan.
Sekolah Dasar Filial merupakan salah satu sekolah yang bernaung di Sekolah Dasar 4 Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dari data yang diterima oleh tim volunteer back to sosial, jumlahpeserta didik yang ada di sekolah dasar filial berjumlah 43 orang yang terdiri dari 6 kelas, kelas 1 berjumlah 10 orang, kelas 2 berjumlah 11 orang, kelas 3 berjumlah 4 orang, kelas 4 berjumlah 7 orang, kelas 5 berjumlah 6 orang, dan kelas 6 berjumlah 6 orang. Fasilitas yang ada di sekolah dasar filial bisa dikatakan dibawah standar, karena jumlah ruangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Ruangan yang ada di sekolah dasar filial hanya 4, sedangkan jumlah ruang kelas yang seharusnya dimiliki ialah 6. Dari 4 ruanagan tersebut tidak mungkin semuanya difungsikan sebagai tempat berlangsungnya proses belajar dan mengajar, namun salah satu dari 4 ruangan tersebut dijadikan sebagai perpustakaan. Tidak hanya dari segi ruangan, fasilitas lainnya seperti: pengeras suara, tiang bendera, persediaan buku, bahkan tenaga pengajar pun masih jauh dari kata cukup dan layak. Kekurangan-kekurangan tersebut ternyata tidak menjadi halangan dan alasan bagi peserta didik yang ada di sekolah dasar filial untuk menyerah dan putus asa, semangat yang tinggi, keinginan yang kuat, dan cita-cita yang luhur membuat kekurangan-kekurangan tersebut tidak berarti di mata mereka. Bisa merasakan duduk dibangku sekolah merupakan kenikmatan besar yang mereka senantiasa syukuri, karena betapa banyak orang yang berkeinginan sekolah namun terhalang oleh beberapa hal yang menyebabkan ia harus putus sekolah.
Oleh karena itu, sangatlah tepat ungkapan yang mengatakan "Banyak orang yang tidak seberuntung kita namun rasa syukurnya lebih besar". Berbicara mengenai sekolah dasar filial, tidak lengkap rasanya jika tidak mengenal sosok pak Mus. Pak Mus merupakan sosok pahlawan pendidikan bagi peserta didik yang ada di sekolah dasar filial, karena beliaulah yang memiliki ide untuk membentuk dan mengembangkan sekolah dasar filial, tentu segala tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh beliau telah mendapatka dukungan dari masyarakat dan perangkat desa yang ada disana. Cita-cita luhur yang ingin diwujudkan oleh pak Mus ialah mewujudkan pendidikan yang layak bagi generasi penerus bangsa yang ada disana sehingga mereka juga merasakan seperti apa yang dirasakan oleh orang yang berada di kota. walaupun hal itu tidak bisa diwujudkan dalam waktu dekat, bukan berarti sesuatu yang mustahil, karena tidak mungkin Allah SWT membiarkan hambanya yang berniat baik untuk berjuang sendiri dan Allah SWT pasti akan memberika pertolongan kepadanya.
"Kesuksesan seseorang dalam menempuh pendidikan tidak ditentukan oleh fasilitas, walaupun fasilitas merupakan salah satu penunjang keberhasilan dari proses pembelajaraan. Oleh karena itu, yang paling berharga dari proses pendidikan adalah semangat yang tinggi untuk belajar, tidak mudah tergoyahkan jika ada rintangan yang menghalangi, karena jika kekurangan dan rintangan tersebut dapat dilalui dengan baik, maka pendidikan yang ada dipelosok bisa jadi lebih baik dari yang ada di kota"
Footnote
[1] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2018), hlm. 163.
[2] Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Tekhnologi, Ikhtisar Data Pendidikan 2022-2023, (Jakarta: Sekretariat Pusat Data dan Tekhnologi Informasi, 2023), hlm. 6-11.
[3] Badan Pusat Statistika Republik Indonesia, Susenas 2003-2017, Diakses pada Kamis, 23 November 2023 pada pukul 10:43 WITA dari https://www.bps.go.id/indicator/28/102/1/persentase-penduduk-buta-huruf.html.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H