Lihat ke Halaman Asli

Ifa Isnaini

Mahasiswa

Manusia Indonesia dari Perspektif yang Beragam

Diperbarui: 13 Desember 2022   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perjalanan pendidikan di Indonesia dari masa ke masa memiliki cerita dan karakteristik yang menarik. Sejarah panjang pendidikan Indonesia penting dipahami dan dimaknai bagi seluruh warga Indonesia sebagai wujud identitas manusia Indonesia yang baik. Berbicara mengenai identitas manusia Indonesia tidak terlepas dari bagaimana keragaman yang ada di dalamnya. Keragaman tersebut menjadi ciri khas dan identitas bangsa. Identitas adalah ciri khas yang melekat akan keunikan yang dimiliki sehingga membedakan dengan hal lainnya (Hendrizal, 2020). 

Maka identitas manusia berkaitan dengan ciri khas dan eksistensi manusia yang ditentukan oleh faktor yang mendukung kelahiran identitas itu sendiri (Joko Suryo dalam Hendrizal, 2020) yakni faktor objektif meliputi geografis, ekologis, dan demografis serta faktor subjektif yakni historis, sosial, politik, dan kultural. Faktor tersebut memberikan pengaruh pada proses pembelajaran di Indonesia.

Proses pembelajaran dalam hal ini adalah pendidikan sebagai wadah persemaian cikal bakal sebuah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Proses budaya menurut Ki Hadjar Dewantara sebagai ikhtiar dalam mengamalkan nilai luhur pada generasi baru untuk meningkatkan dan mengembangkan kebudayaan ke arah keluhuran budaya manusia (Mudana, 2019). Artinya adanya relasi antara kebudayaan dan pendidikan sehingga keduanya tidak bisa diabaikan.

Sebagaimana konsepsi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yakni ajaran Trikon yang merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional terdiri dari tiga unsur yaitu dasar kontinuitas, dasar konsentris, dan dasar konvergensi (Tarigan et al, 2022). Ketiga unsur tersebut saling berkesinambungan yang mana pada dasar kontinuitas mengajarkan bahwa kebudayaan sifatnya berulang sehingga dalam mengembangkan kebudayaan harus konsentris yakni bersikap terbuka, kritis, dan selektif terhadap kebudayaan luar. 

Harapannya akan terbina karakter dunia secara universal dan karakter bangsa secara khusus sebagai suatu kesatuan tanpa mengorbankan identitas bangsa lain atau konvergen, (Tarigan et al, 2022).

Berdasarkan penjelasan di atas, inilah bagian dari "Bhineka Tunggal Ika" dimana identitas manusia Indonesia lahir, hidup, dan berkembang dalam kebhinekatunggalikaan yang khas serta tidak terlepas dari pengamalan nilai luhur budaya bangsa yang beragam. Manusia Indonesia adalah yang memiliki jati diri dan menjiwai nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai pedoman dan falsafah hidup masyarakat menjadi tuntunan dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari. 

Melalui Pancasila manusia Indonesia terlibat langsung dalam mencapai tujuan mulia bangsa ini. Manusia Indonesia yang berpedoman Pancasila tentu memiliki sikap saling asih dan menghormati antar sesama karena Pancasila berperan andil dalam merekatkan dan menyatukan hidup berbangsa atas keragaman yang ada di Indonesia.

Pengamalan nilai luhur budaya bangsa yang berpedoman pada Pancasila tidak terlepas dari Pendidikan sebagaimana yang digaungkan oleh pelopor Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Kebhinekaan sebagai struktur hakiki bangsa Indonesia mencakup keragaman agama, ras, suku, dan bahasa yang berpengaruh pula pada proses pengajaran. Sehingga diperlukan pemaknaan yang bersifat transendental dan terbuka melalui ekplorasi pengalaman lokalitas manusia Indonesia. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat terkait unsur kebudayaan Indonesia yang universal.

Menilik lebih dalam terkait identitas manusia Indonesia memiliki relevansi dengan perspektif sosio kultural dimana perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sosial budaya sebagai proses perkembangan mental dan penalaran yang berkaitan dengan pembelajaran melalui temuan masyarakat (Suardipa, 2020). 

Aktivitas pembelajaran dalam perspektif sosio kultural menekankan pada tindakan atau perilaku yang menghasilkan interaksi sosial yang dilatarbelakangi oleh sejarah hidupnya (Budiningsih, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran manusia sebagian besar merupakan bagian dari proses sosial, dengan fungsi kognitif yang dibentuk berdasarkan interaksi dengan orang-orang di sekitar yang "lebih terampil".

Oleh karena itu, perspektif sosio kultural selaras dengan dasar-dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang memiliki ciri khas dan tidak dijumpai di belahan negara manapun. Tujuan Pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak, agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pada proses "menuntun" anak diberi kebebasan dan pendidik sebagai 'pamong' memberi arahan agar anak tidak kehilangan arah sehingga anak dapat memperbaiki tingkah lakunya untuk menjadi manusia seutuhnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline